Tangis Terindah

On Kamis, 30 Oktober 2014 0 komentar


Tangis Terindah - Cerpen Remaja


Tak pernah ku kira cinta seperti ini. Cinta membuatku rapuh. Dan cinta membuatku terjebak dalam kebingunganku sendiri. Dan Kawan, inilah ceritaku.

Dulu aku sangat membenci pria itu. Aku merasa lelaki yang baru dua bulan menjadi tetanggaku itu benar-benar menyebalkan. Dia selalu megikuti dan menggangguku.

Tapi sekarang, semua seperti berbanding terbalik. Aku membutuhkannya, dan aku sangat menginginkannya.

Dia selalu membawa keceriaan. Selalu tersenyum dan membuat orang di sekitarnya ikut tersenyum. Seperti tak ada masalah dalam hidupnya.Aku rasa dia adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Dimas namanya.
“Apa kau mencintainya, Rena?” tanya Intan, sahabatku.
“Entahlah. Tapi aku sangat nyaman bersamanya” jawabku.
“Kau baru mengenalnya” kata Intan lagi.
“Ini hanya masalah waktu, Intan” jawabku sambil menatap mata Intan
“Ya ya ya. Tapi…”
“Tapi apa?” tanyaku
‘Bagaimana dengan Reza?” ucap Intan.
“Reza??? Ada apa dengan Reza?” tanyaku bingung.
“Sepertinya ia menyukaimu” jawab Intan
“Haha.. kau tak usah mengarang, Intan. Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Dan kedekatan kami juga hanya sebatas itu.” tuturku sambil tertawa.
“Lalu bagaimana jika ia benar-benar menyukaimu? Sedangkan Dimas dan Reza adalah sahabat. Kau akan pilih yang mana?” tanyanya cukup serius kepadaku.

Aku hanya terdiam. Tak pernah terbesit dalam benakku pertanyaan seperti itu. Dan sekarang aku tak bisa memikirkannya. Enatahlah, aku bingung. Dan semoga saja itu hanya perasaan Intan.


Kawan, aku memang tak mau banyak berharap. Tapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda pada diri Dimas. Dia sangat baik dan perhatian padaku. Apa ini hanya perasaanku saja? Entahlah. Tapi aku berharap dia memiliki rasa yang sama denganku.

Aku pulang masih dengan rasa penasaran dan penuh harap pada Dimas. Tiba-tiba aku bertemu dengan Dimas.
“Hei…!!!” kata Dimas menghampiriku.

Ia menatapku lembut. Tahukah Kawan, tapannya benar-benar telah melumpuhkan hatiku. Saat jantungku berdetak kencang dan darahku mengalir sangat deras, tak henti-hentinya hati kecilku berkata “AKU MENCINTAINYA”
“Hei Rena…” ulangnya lagi.
“Hh..hai…” jawabku tersadar dari lamunanku.
“Dari mana?” tanyanya.
“Dari taman.” jawabku.
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.” Kata Dimas.

Aku tersenyum dan berkata, “Tanya apa?”
“Apa Reza kekasihmu?” tanyanya serius.
“Haha… Kekasih? Bukan. Dia bukan kekasihku. Aku tidak punya kekasih, Dimas. Dia sahabatku” jelasku.
“Tapi sepertinya dia menyukaimu. Nama kalian juga cocok, Rena dan Reza.” ucapnya lagi.

Kawan, aku sangat kaget saat Dimas berbicara seperti itu. Kenapa pemikirannya sama dengan apa yang Intan pikirkan? Rasanya aku ingin mengatakan bahwa aku menyukainya, bukan Reza. Dan berharap Dimas pun memiliki rasa yang sama padaku. Tapi, sudahlah. Aku mencoba melupakan perkataan Dimas. Pasti dia hanya bercanda.

Semakin lama semakin aku dekat dengan Dimas. Dia memang orang yang baik dan perhatian. Hatiku buta. Tetapi tidak saat bersamanya. Aku merasa sangat bahagia saat dia ada di sisiku. Entah sihir apa yang membuatku begitu menyayanginya. Rasanya tak ingin sedetik pun aku berpisah dengannya.

Entah sampai kapan harus ku pendam perasaan ini. Perasaan yang sewaktu-waktu dapat membuatku melayang sampai langit ke tujuh, dan sewaktu-waktu pula dapat membuatku tersungkur sampai palung laut yang paling dalam.

Sore ini Dimas mengajakku ke perpustakaan dengan jalan kaki, karena jarak dari rumah kami ke perpustakaan tidak terlalu jauh.
“Selamat sore…” sapa Dimas sambil menunjukkan lesung pipitnya.
“Sore…” jawabku.
“Sudah siap?” tanyanya

Aku hanya tersenyum melihatnya yang hari ini tampil berbeda tapi tetap terlihat tampan. Mau tampil seperti apa pun dia memang terlihat tampan di mataku. Hahaha…

Sesampainya di perpustakaan, kami langsung menuju ke tempat buku favorit kami masing-masing. Aku baru tahu, dia adalah penggemar sastra. Pantas saja kata-katanya selama ini selalu bisa mendinginkan pikiranku di tengah panasnya emosiku. Dan selalu bisa membuat hatiku mencair di tengah kebekuan.
Langit terlihat agak mendung.

Aku berniat untuk mampir sebentar ke rumah Dimas.

Sesampainya di sana kedatanganku disambut hangat oleh Bibi Erin, Ibu Dimas.
“Aku ke belakang dulu ya” kata Dimas.

Dimas menyiapkan minum untukku. Sementara Bibi Erin kembali ke kamar.

Aku melihat tumpukan buku di atas meja ruang keluarga. Aku berniat untuk membacanya. Tapi aku menemukan sebuah foto di atas tumpukan buku-buku itu.

Aku mengambil dan melihat foto itu. Ternyata itu adalah foto Dimas, tapi dengan seorang wanita. Siapa wanita itu?

Kawan, kagetnya aku ketika melihat foto itu. Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Siapa wanita ini? Rasanya seperti ada jarum yang masuk dan menusuk-nusuk hatiku. Rasanya sakit sekali.
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya saat Dimas datang membawakan minuman untukku.
“Dimas, ini foto siapa?” tanyaku mencoba tenang.

Dimas terdiam, dan membuatku mengulang pertanyaanku lagi.
“Dimas, ini foto siapa?” tanyaku lagi
“Ii..ini fotoku” jawabnya sedikit gugup.
“Bukan. Maksudku yang ini” tanyaku sambil menunjuk foto wanita itu.

Aku mencoba tenang, lebih tenang dan sangat tenang. Tapi aku tak bisa. Kawan, aku ingin menangis. Tapi, aku berusaha untuk membendung air mataku.

Dimas sesaat menarik nafas panjang dan menjawab, “Dia Febi, KEKASIHKU !!!”

DEG…!!! Aku merasa dunia berhenti berputar dan waktu berhenti berjalan saat Dimas mengatakan seperti itu. Apa??? Jadi Dimas sudah punya kekasih. Lalu apa maksud sikapnya padaku selama ini? Dia selalu mengisi kekosongan dalam hidupku. Dan dia yang memenuhi ruang dalam hatiku.
Kawan, taukah kalian? Rasanya sakit sekali mengetahui Dimas sudah mempunyai kekasih.

Aku pergi begitu saja dari rumah Dimas. Tak bisa lagi ku pendam air mataku. Aku menangis. Seperti derasnya hujan di luar sana. Aku tak peduli Dimas akan tahu bahwa aku mencintainya.

Bodohnya aku menganggap dia mencintaiku. Bodohnya aku yang memberinya ruang khusus dalam hatiku. Bodohnya aku yang selalu menunggunya di bawah kubah rinduku.

Kawan, aku mengurung diri dalam kamar setelah mandi dan mengganti pakaiaanku. Aku menyesal telah menyukainya dan mengira ia juga menyukaiku.

Dimas meneleponku, tapi tak ku angkat. Aku benar-benar tidak ingin diganggu. Aku ingin melupakan kejadian menyakitkan yang kualami tadi.

*****
Sejak kejadian itu, aku tak pernah bertemu dengan Dimas. Entahlah, Bibi Erin juga tak pernah berkunjung ke rumahku lagi. Aku merindukan kehangatan dari mereka.

Tiba-tiba Reza yang sudah lama tak menampakkan dirinya datang ke rumahku saat aku sedang duduk-duduk di teras.
“Rena…” sapanya.
“Hai…” jawabku dengan senyum tipis.
“Maafkan aku” katanya dengan wajah penuh sesal.
“Maaf? Untuk apa?” tanyaku bingung.
“Aku telah merusak hubunganmu dengan Dimas” katanya lagi.

Aku semakin tak mengerti dengan apa yang dikatakan Reza.
“Hubungan apa? Sungguh. Aku tak mengerti apa yang kau katakan” tambahku.
“Aku tau sekarang, kau mencintai Dimas kan? Dan Dimas pun begitu. Tapi karena ia tahu aku menyukaimu, Dimas tak pernah mengungkapkan perasaannya padamu” jelasnya.
“Jadi… benar kau…”
“Maaf Rena, aku menyukaimu” kata Reza. “Aku membawa surat tentang perasaan Dimas kepadamu yang ia buat sebelum ia kritis di rumah sakit. Ibunya yang menitipkan ini padaku” jelasnya lagi sambil memberikan surat itu padaku.
”Dimas di rumah sakit?” tanyaku kaget
“Ya. Ia mengidap kanker otak stadium akhir”

Kawan, aku sangat terkejut. Ternyata pangeran dalam hatiku yang selalu ceria ternyata memiliki beban yang sangat berat dalam hidupnya.

Aku mulai membaca surat dari Dimas sambil terus menangis

“Dear Rena…
Terima kasih Rena, kau selalu hadir dalam hari-hari terakhirku. Hari-hari di mana aku berjuang untuk hidup. Dan hari-hari di mana aku ingin selalu berada di sampingmu.

Aku tak tau berapa menit lagi aku hidup, dan berapa detik lagi aku mampu menulis. Tapi yang aku tau, selamanya aku akan tetap mencintaimu.

Aku mencintaimu secara sederhana. Sesederhana kayu yang berubah menjadi arang karena terbakar, dan sesederhana lilin yang rela melelehkan tubuhnya demi menerangi kegelapan.

Aku mencintaimu dengan segala kekuranganku. Dari sekian banyak hal yang aku takutkan, salah satunya adalah aku takut kehilangan dirimu.

Maaf aku berbohong kepadamu. Foto itu adalah foto sepupuku di kampung. Aku melakukannya agar kau membenciku. Karena aku tak mau kau bersedih saat kelak harus mengetahui penyakitku.

Kau tau?? Saat kau menangis, aku sedih, tapi aku juga merasa senang karena aku tau bahwa kau benar mencintaiku. Terima kasih, Rena. Itu adalah tangis terindah bagiku.

Dimas”

Air mataku tak bisa berhenti mengalir saat ku baca surat dari Dimas
“Ayo kita ke rumah sakit!” kataku sambil menggeret tangan Reza.

Kawan, tahukah kau. Rasanya mataku seperti terkena sambal dengan seribu cabai. Tak bisa ku hentikan air mata ini.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju ke ruangan Dimas. Aku melihat Dimas yang tak berdaya di dalam sana, didampingi Bibi Erin yang tak henti-hentinya membacakan ayat suci Al-Qur’an. Aku dan Reza masuk ke ruangan itu secara perlahan-lahan.
“Dimas…” ucapku pelan.
“Rena…” ucap Bibi Erin.
“Bi, bagaimana keadaan Dimas? Kenapa Bibi tidak memberi kabar padaku?” tanyaku.
“Kondisi Dimas semakin memburuk. Tapi Bibi harap ia lebih kuat dari kanker yang bersarang di tubuhnya, Rena. Maaf Bibi tidak memberi kabar kepadamu. Dimas yang melarang Bibi. Dia tak mau kau cemas, Nak” jelas Bibi Erin.
“Dimas memang orang yang sangat baik, Bi Bibi sudah makan?” tanyaku.
“Belum. Bibi tidak sempat makan” jawabnya.
“Bibi makan saja ke kantin rumah sakit. Biar aku dan Reza yang menunggu Dimas, Bi. Bibi harus makan. Jangan sampai Bibi sakit” ucapku.

Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Bibi Erin pergi ke kantin rumah sakit.

Aku berjalan menghampiri Dimas. Aku menangis. Aku benci saat-saat seperti ini. Saat-saat di mana aku harus menjatuhkan air mataku.
“Dimas… ini aku, Rena. Dimas, maafkan aku yang tak pernah mengerti apa yang kau rasakan selama ini. Maaf, Dimas. Maaf…” ucapku lirih.

Air mataku menetes mengenai tangan Dimas yang terkulai lemas.
“Rena… Lihat Dimas! Tangannya bergerak!” kata Reza.

Saat itu juga Bi Erin datang membawa makanan.
“Dimas..” ucap Bi Erin sambil menangis.

Bi Erin berjalan menuju ke arah Dimas.
“Dimas sayang, ini Ibu, Nak…” katanya lagi.

Dimas tak menjawab. Ia hanya melontar senyum pada kami. Aku menangis melihat Dimas.

Tiba-tiba Dimas memegang tanganku dan tangan Reza, lalu menyatukannya. Dan berkata, “Aku lelah. Laa ilaa hailAllah…” ucapnya pelan.

Kami semua menangis. Luapan air mata tak dapat terbendung. Dimas kembali tidur setelah ia menyatukan tanganku dengan tangan Reza. Tapi kali ini, ia tidur untuk selamanya. Meninggalkan kami yang mencintainya.

Dimas telah mengajarkan banyak hal padaku. Dia memang orang yang hebat. Pantas saja aku menyukainya.

Kawan, sejak kepergian Dimas, aku lebih menghargai waktuku, menghargai orang-orang di sekitarku dan lebih menghargai hidupku sendiri.

Kawan, setahun setelah meninggalnya Dimas, aku mulai membuka hatiku untuk pria lain. Dan pria itu adalah kekasih, sahabat, sekaligus kakak untukku. Dan kalian tahu? Dialah Reza.
sumber disini

0 komentar:

Posting Komentar