He Is My Brother

On Rabu, 29 Oktober 2014 0 komentar

Anya membuka pintu kamarnya, kemudian segera berjalan ke depan pintu kamar Axel. Anya menatapnya dengan kesal, kemudian memukul pintu itu dengan keras sampai tangannya sendiri terasa sakit.
“Axel! Bisa kecilkan musiknya?! Aku lagi belajar!” teriak Anya dari depan pintu kamar kakaknya itu.
Beberapa detik kemudian suara musik yang sangat berisik itu mati, Axel muncul di balik pintu dengan wajah masam.
“Kalau memang tidak suka dengan musik, silahkan belajar di bawah saja,” katanya tanpa rasa bersalah.
Anya menatapnya semakin kesal, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia segera berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar.

“Kakakmu mana?” tanya Ayah yang sedang mengoles selai pada rotinya pagi itu.
Anya mengangkat bahunya. “Mungkin masih tidur, Yah,” jawab Anya lalu segera duduk.
Ayah mendengus sebentar, dia segera berdiri dari tempat duduknya dan bergerak menuju kamar Axel. Dan beberapa menit kemudian suara teriakan Ayah terdengar sampai ke ruang makan saking kerasnya. Anya seketika kehilangan selera makannya. Selalu saja pagi yang seperti ini. Selalu saja Axel membuat hari-harinya menjadi terasa tidak enak.
Anya segera berdiri dari tempatnya dan berpamitan pada Ibu. Ibu sampai heran melihatnya karena Anya bahkan belum memakan rotinya.
Anya keluar rumah dengan malas. Axel itu selalu saja membuat masalah. Tidak pernah berpikir sehari pun untuk merubah sikapnya yang membuat semua orang benci. Anya tidak tahu apa yang membuat Axel menjadi seperti itu, yang dia tahu dulu Axel adalah kakak yang baik untuk Anya. Dulu Anya selalu bermain bersama Axel saat kecil. Anya sampai merindukan saat-saat itu jika mengingatnya, dan sedetik kemudian kembali kesal jika teringat dengan Axel yang sekarang.
Axel tumbuh menjadi anak yang bersikap dingin, dia suka menutup diri dari orang-orang sekitarnya. Axel terbilang labil untuk usia sembilan belas tahun. Dia seperti anak yang kesepian.
Axel dan Anya kuliah dalam satu kampus yang sama, juga dalam angkatan yang sama meski berbeda jurusan. Axel tidak naik kelas satu tahun karena kebodohannya saat di kelas lima SD. Anya masih ingat betul, saat itu adalah saat dimana Axel mulai berubah menjadi seperti sekarang. Anya tidak tahu kenapa. Bahkan dosen di kampus sering membanding-bandingkan Axel dan Anya. Katanya, mereka berdua seperti dua elemen yang saling bertolak belakang. Axel anak yang pendiam, bersikap dingin, mudah emosi, dan bodoh dalam semua pelajaran. Sedangkan Anya adalah anak yang pintar, dia selalu ceria dan tersenyum pada semua orang. Wajar saja semua laki-laki di kampus dibuat terpesona oleh Anya yang juga memiliki wajah cantik.
Di kampus, Axel masih saja membuat Anya kesal padanya. Axel pernah menghajar empat orang teman laki-laki Anya dengan alasan karena mereka bersikap tidak sopan pada Anya. Dan akibat ulah Axel itu, mereka menjauhi Anya karena takut pada Axel yang sudah terkenal sebagai preman kampus. Anya tidak tahu entah sampai kapan Axel akan terus merusak hari-harinya. Dia segera mempercepat langkahnya menuju kelas.
Cerpen He Is My Brother
Axel terbangun dengan perasaan yang campur aduk begitu mendengar suara Ayah meneriakinya dari luar kamar. Axel berjalan dengan malas dan membuka pintu kamarnya. Ayah berdiri dengan wajah yang tidak enak dilihat.
“Ada apa?” tanya Axel datar, kemudian menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Ada apa ada apa! Kamu ini kerjaannya cuma tidur saja! Kenapa adik kamu belum pulang juga?!” bentak Ayah dengan keras.
Axel melirik jam di dinding kamarnya yang menunjukkan pukul empat sore, biasanya Anya sudah berada di rumah jam tiga sore.
“Mana aku tahu. Mungkin di rumah temannya,” kata Axel.
Mata Ayah seketika membelalak marah, kemudian segera menyuruh Axel untuk mencari Anya.
Axel kembali masuk ke dalam kamarnya dengan kesal untuk mengambil jaket. Selalu saja seperti ini, Ayah selalu membuat Axel terbebani dengan Adiknya. Ayah selalu menganggap Anya sebagai anak kecil yang harus selalu dijaga ke mana pun dia pergi.
Axel memandang sekeliling kampus yang telah sepi saat sampai di sana, lalu sedetik kemudian mendapati salah seorang teman sekelas Anya sedang melintasi koridor. Axel segera menghampiri dan menanyakan Anya padanya. Laki-laki bernama Dodi itu mengatakan bahwa Anya pergi bersama Reno dan beberapa orang lainnya ke sebuah kafe.
Axel bergegas mengambil motornya dan meluncur menuju kafe yang dimaksud Dodi. Reno bukanlah pria baik-baik, Axel tahu betul kebusukannya. Axel tidak mau Anya menjadi korban Reno selanjutnya.
Dan benar saja, Axel mendapati Anya sedang duduk dan tertawa bersama sekumpulan laki-laki, Reno juga ada di sana. Axel segera menghampiri Anya dan menarik tangan gadis mungil itu. Anya sempat memberontak sebentar, namun Axel tetap membawanya keluar.
Ayah dan Ibu sedang duduk di ruang keluarga saat Axel dan Anya sampai di rumah. Axel segera melaporkan pada Ayah bahwa Anya pergi ke kafe bersama beberapa laki-laki. Dan sedetik kemudian sebuah tamparan keras bersarang di pipi kiri Axel, saking kerasnya tamparan itu membuat Axel terhuyung ke belakang. Anya mendekap mulutnya melihat itu.
“Kamu bisa-bisanya membiarkan Adik kamu pergi sama laki-laki yang tidak jelas asal usulnya?! Kakak macam apa kamu ini!” bentak Ayah dengan nada tinggi. “Kalau sampai Adik kamu kenapa-kenapa bagaimana?!”
Selalu seperti ini, selalu Axel yang disalahkan atas apa yang Anya lakukan. Axel hanya menundukkan wajahnya. Dia tidak ingin melawan pada Ayahnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Axel memilih untuk masuk ke kamarnya, dia melewati Anya yang menatapnya dengan perasaan bersalah.
Anya duduk termenung di samping jendela mengingat-ingat kejadian tadi sore. Dia sadar Axel selalu disalahkan atas apa yang bukan kesalahannya. Ayah selalu menyalahkan Axel atas apa yang Anya lakukan.
Anya melirik luka kecil di lututnya. Sebuah luka yang dia dapat saat terjatuh dari sepeda waktu usianya masih sepuluh tahun. Dia teringat bagaimana Ayah menghajar Axel dulu saat tahu Anya terjatuh dari sepeda dan mendapat luka itu.
Ibu membuka pintu kamar Anya, kemudian mengajak Anya makan malam. Anya segera keluar kamar dan menuju meja makan bersama Ibu. Ayah telah menunggu di sana, namun Anya tidak menemukan Axel ada di ruang makan. Sesaat kemudian memilih untuk tidak ambil pusing dan segera duduk di tempat duduknya.
Ayah menanyakan Axel pada Ibu, dan Ibu hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Ayah segera berdiri dari tempat duduknya dan bergerak menuju kamar Axel. Anya sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ayah memukul-mukul pintu kamar Axel dengan keras, mengalahkan kerasnya suara musik yang dinyalakan Axel saat itu. Axel membuka pintunya dan mendapati mata Ayah membelalak menatapnya.
“Apa lagi?” tanya Axel datar.
“Makan malam! Apa Ayah harus selalu mengingatkan kamu untuk makan malam bersama?!” kata Ayah ketus.
“Aku tidak pernah minta untuk ikut makan bersama kalian,” jawab Axel yang kemudian berjalan melewati Ayah begitu saja.
Axel duduk di tempat duduknya dengan perasaan serba salah. Semua orang bersikap seperti keluarga kecil yang bahagia. Dia sama sekali tidak melirik pada Adiknya yang dari tadi memandanginya dengan wajah kasihan.
“Bagaimana sekolahnya Anya?” tanya Ayah di tengah makan malam.
“Baik, Yah. Nilai-nilai aku juga tidak ada yang jelek,” jawab Anya bangga, membuat Ayah melirik Axel dengan masam.
Axel merasakan tatapan Ayah yang tidak mengenakan itu. Kerja bagus Anya, membuat Ayah akan kembali membanding-bandingkan Axel dengan Adiknya.
“Pertahankan terus nilai kamu,” kata Ayah lagi. “Jangan sampai merosot seperti nilai Kakakmu.”
Axel mendengus sebal, kemudian memilih untuk menyudahi makannya dan meninggalkan meja makan.
“Heh anak bandel! Mau kemana kamu?!” teriak Ayah geram.
“WC,” jawab Axel beralasan, dia segera masuk ke kamarnya.
Axel membanting pintu kamarnya hingga tertutup dengan keras. Dia menyalakan musik dengan volume sangat tinggi, kemudian mulai melampiaskan emosinya pada benda-benda di sekitarnya. Dia menghajar tembok kamarnya beberapa kali sampai akhirnya terduduk kelelahan.
Ayah tidak pernah bersikap adil padanya, selalu saja membanding-bandingkan Anya dengan dirinya. Anya jelas jauh lebih sempurna daripada Axel yang penuh dengan kekurangan. Axel merasa menyesal karena harus dilahirkan.

Axel menggonta-ganti channel TV malam itu. Dia tidak dapat tidur karena bibirnya yang robek akibat tamparan Ayah. Axel merasakan mulutnya berdenyut jika dia berbaring.
Sesaat kemudian Anya datang dan duduk di sampingnya. Axel tidak melirik pada Anya seakan-akan tidak menyadari kehadiran Anya.
“Aku mau minta maaf soal tadi sore. Gara-gara aku…”
“Tidak perlu merasa bersalah,” potong Axel cepat. “Lagi pula bukankah sejak kecil selalu seperti itu? Aku selalu disalahkan atas perbuatan yang bukan salahku,” kata Axel lagi.
Anya diam, kemudian menundukkan wajahnya. “Aku akan jelaskan sama Ayah dan Ibu soal itu,” kata Anya pelan.
“Lalu? Apa itu akan mengubah keadaan yang udah terjadi?” tanya Axel dingin. “Keadaan seperti itu sudah terjadi sejak aku kecil. Jadi tidak perlu bersikap seolah-olah peduli padaku.”
Anya kembali diam. Axel juga diam. Beberapa menit kemudian Axel berdiri dari tempat duduknya dan melangkah pergi dari ruang keluarga.

Axel baru saja akan pulang saat mendapati salah satu teman sekelas Anya berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Axel menatapnya heran.
“Axel, aku lihat Anya…” katanya dengan terengah-engah. “Dibawa masuk ke dalam mobil Reno. Mereka mau bawa Anya ke rumah Reno.”
Axel bagai tersambar petir mendengar itu, dia segera berlari secepat mungkin menuju parkiran kampus dan mengambil motornya. Axel tahu apa yang akan dilakukan Reno pada Adiknya, dan untungnya Axel tahu persis rumah Reno dimana.
Axel langsung meloncati pagar rumah Reno dan menerobos masuk begitu saja saat dia sampai di sana. Axel mendapati beberapa teman Reno sedang memegangi tangan Anya dan Reno memaksa Anya untuk meminum minuman beralkohol.
Axel langsung kalap melihat itu, dia menghajar Reno dan enam orang temannya secara membabi buta. Anya terkejut melihat kehadiran kakaknya, sekaligus bersyukur karena kakaknya datang tepat waktu.
Reno dan keenam temannya ternyata belum cukup untuk menghadapi Axel yang terkenal pintar berkelahi. Satu per satu dari mereka merasakan pukulan Axel. Reno menyadari keadaan yang tidak bagus, maka dia segera mengambil pemukul baseball yang ada di sudut ruangan. Reno memperhatikan Axel yang sedang melayani satu per satu musuh-musuhnya. Dan ketika melihat keadaan Axel yang mulai terdesak, Reno segera memukul kepala Axel dari belakang. Anya mendekap mulutnya melihat itu. Axel tumbang, dan tidak ada ampun lagi dari mereka yang langsung membabi buta menginjak-injak tubuh Axel yang sudah tidak berdaya. Reno bahkan tidak berhenti memukuli tubuh Axel dengan pemukul baseball di tangannya.
Anya tidak akan diam saja melihat itu, dia segera berlari ke luar rumah dan meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar itu. Akhirnya beberapa warga berdatangan dan masuk ke dalam. Reno dan teman-temannya tampak terkejut melihat warga yang tampak marah itu. Axel yang pingsan segera ditolong warga dan dibawa ke rumah sakit. Anya menangis melihat keadaan Kakaknya itu.

Jam di dinding ruang perawatan Axel menunjukkan pukul delapan malam, namun Axel belum juga siuman. Anya menatap wajah kakaknya dengan hampa. Dia tidak pernah membayangkan Axel yang dikenalnya sangat keras, sekarang terbaring lemah di atas ranjang. Ayah dan Ibu juga tampak sedih melihat keadaan Axel, Ibu bahkan belum berhenti mengeluarkan air matanya.
Beberapa jam kemudian Axel membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berdenyut hebat. Cahaya lampu kamar seakan-akan menerobos masuk ke dalam matanya. Axel menoleh perlahan ke sampingnya, kemudian mendapati Anya sedang tertidur sambil menggenggam tangan kanan Axel. Axel mencoba menggerakkan tangannya perlahan, bermaksud untuk melepas genggaman Anya. Namun ternyata justru membuat Anya terbangun dari tidurnya.
Wajah Anya tampak gembira melihat Axel siuman, dia segera membangunkan Ayah dan Ibu yang sedang tidur di sudut ruangan. Keduanya pun tampak bahagia melihat Axel.
“Kak, kakak pasti tidak tahu bagaimana aku senangnya ngeliat kakak bangun,” kata Anya lembut sambil tersenyum.
Ibu mengusap rambut Axel, kemudian mencium keningnya. Axel sangat merindukan saat seperti ini. Saat-saat yang tidak pernah dia rasakan lagi sejak sembilan tahun yang lalu. Ibu bukannya tidak peduli pada Axel, hanya saja tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghadapi sikap Ayah yang begitu keras pada Axel.
Ayah memandangi Axel dengan lembut. Axel bahkan tidak percaya Ayah menatapnya seperti itu. Ayah mengatakan betapa dia sangat menyayangi Axel, dia juga meminta maaf telah bersikap keras pada Axel selama ini.
Axel tersenyum lemah, akhirnya dia mendengar apa yang ingin didengarnya dari Ayah selama ini. Ayah yang sangat disayanginya. Axel memejamkan matanya perlahan, air mata keluar dari sudut-sudut matanya. Axel merasakan kebahagiaan, dia bahkan rela jika harus mati sekarang karena sudah merasakan kebahagiaan seperti ini.
Dan seakan-akan apa yang dipikirkan Axel benar-benar menjadi kenyataan karena beberapa menit setelah memejamkan matanya, Axel merasakan kepalanya berdenyut hebat. Axel berusaha menyembunyikan rasa sakit itu hingga akhirnya monitor di samping ranjang Axel menunjukkan garis lurus. Anya segera berlari keluar ruangan untuk mencari dokter.
Axel meninggal, dokter tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Dokter mengatakan gegar otak yang diderita Axel kambuh karena menerima pukulan benda tumpul yang sangat keras. Ayah, Ibu dan juga Anya terkejut mendengar itu. Mereka tidak pernah tahu bahwa Axel penderita gegar otak. Dokter bahkan sampai tidak percaya begitu mengetahui tidak ada satu pun dari mereka yang tahu soal ini.
Axel memang tidak pernah menceritakan apa pun pada keluarganya. Axel memeriksakan diri pada dokter saat dia berusia lima belas tahun. Dokter memvonis Axel sebagai penderita gegar otak berat. Axel tidak tahu penyebabnya apa. Mungkin karena Ayah yang sering memukul kepalanya jika Axel melakukan kesalahan.
Seakan semua kesedihan itu belum cukup, Ayah menemukan sebuah surat di kamar Axel. Sebuah surat keterangan yang menjelaskan bahwa Axel juga menderita depresansia, sebuah penyakit mental yang disebabkan akibat ketergantungan pada obat penenang. Depresansia menyebabkan perubahan pada pola pikir penderitanya, suasana perasaan, dan juga kesadaran atau perilaku penderitanya. Axel ternyata memakai obat penenang selama ini, Ayah tidak pernah tahu. Axel menderita dengan perlakuan Ayahnya sampai harus menggunakan obat seperti itu. Itulah sebabnya sikap Axel berubah, dia menjauh dari orang-orang di sekitarnya. Nilai-nilainya juga selalu jelek karena pola pikirnya yang sangat lambat akibat depresansia yang dideritanya. Selama ini kedua orangtuanya berpikir bahwa Axel adalah anak yang bodoh.
Anya menatap pusara Axel dengan tatapan kosong. Dia tidak lagi menangis, Anya sudah lelah menangis. Air matanya pun nyaris habis. Tidak pernah terbayangkan olehnya Axel akan pergi dengan cara seperti ini. Anya menyesal atas semua yang diterima Axel akibat dirinya. Dia masih tidak percaya bahwa Axel menderita gegar otak. Axel terlihat tegar dari luar namun ternyata menyimpan beban yang begitu berat. Saat itulah seharusnya Anya membantu Axel. Dia mulai menyalahkan dirinya karena tidak mau mendengarkan Axel agar jangan bergaul dengan Reno. Anya bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada Axel.
Tidak akan ada lagi Axel yang selalu menjaganya. Tidak ada lagi Axel yang bisa memarahinya jika bergaul sembarangan. Tidak akan ada lagi yang akan memutar musik dengan volume keras. Tidak akan ada lagi Axel yang sering duduk di jendela sambil memainkan gitar. Anya berusaha mengikhlaskan kepergian Axel meski terasa berat. Axel sudah tenang di alam sana. Anya tahu Axel pasti tidak akan mau melihat Anya menangisi kepergian Axel.
Anya berjongkok di samping makam Axel, kemudian meletakkan setangkai mawar putih di atasnya. Axel akan selalu menjadi sosok laki-laki nomor satu di hatinya. Sosok yang tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun. Dia sangat menyayangi Axel meski tidak pernah mengatakannya.
Anya mencium telapak tangan kanannya, kemudian menempelkan tangannya di atas makam Axel.
“Selamat jalan, Brother,” kata Anya lemah, kemudian tersenyum pedih.
sumber disini

0 komentar:

Posting Komentar