Aku mulai mengenalnya ketika aku duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar. Tetapi aku dengan dia tidak terlalu akrab. Barulah ketika memasuki kelas 6 SD, aku menjalin persahabatan yang erat dengan dia. Sebut saja nama sahabatku itu Santi.
Menurutku Santi adalah sosok sahabat yang baik, ceria dan perhatian. Tetapi, sifat yang ku benci dari dia adalah suka ngejahilin teman-temannya. Aku pun tak luput terkena sasaran kejahilan dia kadang aku pun merasa jengkel karena ulahnya itu. Tetapi, biarpun begitu kami tetap menjalin persahabatan yang sangat baik. Kami pun sering bermain bersama, belajar bersama dan pergi mengaji pun bersama-sama.
Ketika tamat SD, kami pun memasuki sekolah yang sama pula. Cuma bedanya adalah ketika SD kami satu kelas tetapi di SMP kami berlainan kelas. Namun, biarpun seperti itu kami, kami tidak saling melupakan. Walaupun aku dan Santi mempunyai teman-teman baru, namun persahabatanku dengannya tetap harmonis seperti dulu. Bahkan aku mempunyai banyak teman karena teman-temannya Santi menjadi temanku juga.
Begitulah hari demi hari silih berganti hingga tak terasa aku dan Santi telah duduk di bangku kelas 2 SMP. Ketika pulang sekolah, tiba-tiba Santi menghampiriku “Ehh Aulia kamu nggak pulang ya?” tanya Santi padaku yang tengah berdiri di depan gerbang sekolah. “Ohh, pulang kok, cuma aku lagi nunggu ojek nih” jawabku. “Loohh, itu kan banyak ojek, kenapa kamu nggak mau naik?” tanya Santi lagi. “Hmm, nggak ah, aku takut! soalnya aku nggak berani naik ojek sembarangan, aku tuh biasanya naik ojek yang aku kenal. Oh ya, kamu pulang sama siapa Santi?” kali ini aku yang bertanya pada Santi lalu Santi pun menjawab “aku pulang sendirian dan aku juga lagi nunggu ojek yang aku kenal”. “Ohh, kalau begitu kita naik ojek berdua aja, kan jalur kita sama” usulku. “Baiklah” jawab Santi dengan senyumannya.
Rumahku dengan rumah Santi tidak terlalu jauh, rumahku berada di samping jalan yang penuh dengan keramaian dan sangat mudah untuk ditemui. Tetapi, untuk menempuh rumah Santi, kita harus menaiki tanjakan yang kadang membuat kaki kita terasa pegal. Namun sekarang aku sudah jarang bermain ke rumah Santi.
Keesokan harinya, Santi tidak masuk sekolah bahkan sampai seminggu lamanya. Aku pun khawatir, aku takut terjadi apa-apa dengan dirinya. Aku ingin sekali menemui dan menanyakan kabarnya tetapi tidak sempat karena, pekerjaan rutinku di rumah sangat banyak. Ketika aku sedang menyapu di halaman rumah, tiba-tiba terlihat olehku Yuni, temanku yang jarak rumahnya dekat dengan Santi. Barangkali dari Yuni aku bisa mendapatkan informasi tentang keadaan Santi. Lalu aku pun bergegas menghampirinya, tanpa basa basi aku pun langsung menanyakan bagaimana keadaan Santi “Yun, kenapa sih Santi jarang masuk sekolah? emangnya dia kenapa?” tanyaku. Lalu Yuni menjawab “ohh, dia sedang sakit”. “Haah? dia sakit apa?” tanyaku lagi dengan ekspresi terkejut. “Aku juga nggak tau apa penyakitnya, ada yang bilang demam, ada juga yang bilang kalau penyakitnya itu datang dari makhluk halus soalnya dia sering nggak sadarkan diri, maksudku dia sering kesurupan” jawab Yuni dengan muka serius. “Astaga, kok bisa begitu ya? semoga aja dia cepat sembuh, oh ya tolong sampaikan ke dia, maaf aku nggak bisa pergi jenguk soalnya pekerjaan rumah numpuk, nanti kalau ada waktu, aku pasti datang ke rumahnya”. “Iya deh ntar aku sampaikan, ya udah aku buru-buru nih, aku pulang dulu ya Aulia”. “Iya, hati-hati Yun” jawabku.
Keesokan harinya, tanggal 5 Oktober 2012, bertepatan denga hari Jum’at, aku pergi ke sekolah dengan sikapku yang biasa saja. Ketika aku sampai di depan pos penjaga sekolah, aku melihat banyak sekali teman yang sekelas dengan Santi tengah asyik mengobrol. Lalu, aku pun menghampiri mereka “Hai, kalian sudah tau nggak bagaimana kabarnya Santi?” tanyaku pada mereka, lalu salah seorang dari mereka menjawab “belum tahu, soalnya dia nggak pernah ada kabarnya”. “Lalu, mengapa kalian tidak pergi ke rumahnya untuk memastikan keadaannya?” tanyaku lagi. “Kami tidak tahu alamat rumahnya”. “Lohh, bukannya kalian punya teman yang bernama Ida? Ida itu kan teman dekatnya Santi, aku yakin, Ida pasti tahu rumahnya Santi” kataku. “Oh iya bener juga, ntar kita tanyakan pada Ida”.
Setelah pulang sekolah, aku pun berbaring sebentar sembari menuungu adzan zuhur, setelah itu aku bergegas mengambil air wudhu dan sholat. Setelah selesai sholat, aku pun berniat hendak tidur siang. Namun tiba-tiba, aku mendengar kabar bahwa Santi telah meninggal dunia. Mendengar kabar itu, aku langsung terkejut. Seketika tubuhku terasa ringan bagaikan kapas, lunglai bagai tak bertulang, hatiku terpaku, lidahku pun terasa kelu hingga tak mampu untuk mengucapkan sepatah katapun. Tak terasa, butir-butir air mengalir dari kedua kelopak mataku.
Aku benar-benar tidak percaya bahwa Santi akan mengalami takdir kematian secepat itu. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya, mengajaknya berbicara. Tapi, apa mau dikata, semua itu sudah menjadi kehendak yang Maha Kuasa. Aku hanya berdoa semoga Santi mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya.
Lalu sekitar jam 3 sore, aku pergi ke rumah Santi untuk melayatnya dan menyampaikan duka cita sedalam-dalamnya kepada keluarga Santi. Aku pun masuk ke dalam rumah Santi. Aku melihat Santi terbaring dengan tubuh ditutupi kain batik berwarna coklat. Aku pun tak sanggup melihatnya, lalu aku pun keluar dengan berurai air mata.
Rasa sedih dan kecewa bercampur jadi satu. Aku benar-benar merasa kehilangan sosok sahabat terbaik dalam hidupku. Lalu aku pun pergi ke tempat dimana Santi akan dimakamkan, agar aku bisa menyaksikan sekaligus melepas kepergiannya untuk terakhir kali sebelum ia menghadap kepada Sang Ilahi, serta mendoakan agar ia diterima di Sisi Allah yang Maha Kuasa.
“Selamat jalan Santi, semoga kamu bahagia di alam sana”
SELESAI.
sumber disini
0 komentar:
Posting Komentar