Berpisah Bukan Berarti Berakhir

On Jumat, 31 Oktober 2014 0 komentar


Siang itu, jalanan lumayan sepi. Doni mengayuh sepedanya dengan cepat, diikuti oleh Rahma yang sedikit tertinggal di belakang, namun berusaha agar posisinya sejajar dengan Doni, hingga akhirnya mereka bersebelahan. Dengan perasaan bangga, karena lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, kedua orang sahabat ini berteriak kegirangan sambil sesekali tertawa dengan sepeda yang masih melaju tidak terkendali, dan..
Brukkk!
Rahma tidak sengaja menabrak sebuah kayu yang tergeletak di jalan hingga membuat sepedanya tidak seimbang dan malah membelok ke arah Doni yang membuat mereka berdua jatuh tersungkur.
Doni meringis kesakitan. Tadi mereka terjatuh cukup parah. Doni mendapati lecet di kedua kakinya, dan seragam sekolahnya sedikit berlepotan merah, lengannya mengeluarkan darah, terluka. Sambil berusaha bangkit, matanya tertuju pada Rahma yang masih tergeletak di depannya.
“Kamu baik-baik saja?” Doni bertanya khawatir.
“Oh, hanya lecet” Jawab Rahma, seraya menunjukkan lengannya. “Maaf, aku ceroboh. Kamu.. Hah lenganmu mengeluarkan darah!” Lanjutnya kaget melihat lengan kiri Doni.
“Hanya luka kecil” Jawab Doni enteng sambil membantu Rahma untuk berdiri.
“Tidak, kita harus segera mengobatinya” Tegas Rahma.
Doni merasa geli melihat wajah Rahma yang berubah panik. Ini bukan sepenuhnya salah Rahma yang menabraknya, tapi juga karena dirinya yang membuat Rahma ikut mengayuh sepeda dengan kencang. Tentu saja juga karena mereka bersepeda tidak memperhatikan jalan karena sedang tertawa kegirangan.
“Aaau.. Perih.. Jangan kasar!” Ringis Doni yang sedang dibersihkan lukanya oleh Rahma ketika mereka sampai di rumahnya.
“Diam, Bawel. Lukamu ini cukup dalam, bisa infeksi” Katanya sok tahu tetapi dengan tampang serius.
“Dan aku akan menyalahkanmu, Cerewet” Balasnya.
“Aku? Bukankah kamu yang mengajakku ngebut?” Protes Rahma.
“Tapi, kamu yang menabrakku” Protes Doni balik.
“Hehee.. Oke, maaf. Aku tadi terlalu lepas, sangking bahagianya bisa lulus dengan nilai IPA yang wow. Dan.. Tentu saja, sebentar lagi akan menjadi seorang mahasiswa” Ucap Rahma dengan bangga.
Doni tidak menanggapi. Dia terdiam. Ada yang aneh dengannya saat mendengar Rahma menyebut akan menjadi seorang mahasiswa. Tentu saja dia juga senang, tapi sesuatu seperti mengganjal perasaannya. Doni melamun.
“Hei, Kenapa? Bukankah nilai matematika kamu juga wow? Bahkan nilai lainnya cukup memuaskan?” Tanya Rahma heran melihat sahabatnya ini menjadi seperti orang patah semangat.
Tidak ada jawaban dari Doni. Dia masih melamun, entah apa yang sedang dia pikirkan. Wajahnya jadi muram. Dia memang lulus dengan nilai yang memuaskan, bahkan sangat-sangat memuaskan. Namun, justru karena itulah masalahnya. Tapi, entahlah.
Rahma telah selesai membalut luka Doni, namun bingung masih menggeliat ketika melihat Doni yang sedari tadi hanya diam. Akhirnya, Rahma memutuskan untuk..
“Aaauuu..” Teriak Doni meringis lebih kencang dari ringisan sebelumnya. “Sakit, Bawel nakal!” Lanjutnya tetap dengan suara yang kencang karena kaget. Rahma telah memukul pelan lukanya, tapi menimbulkan sakit yang luar biasa.
“Hahaha..” Rahma terbahak melihat reaksi Doni yang tidak disangkanya akan kesakitan berlebihan seperti itu. “Siapa suruh, orang ngomong tidak dihiraukan?” Lanjutnya ketika tawanya sudah reda.
“Tapi tidak perlu memukul lukaku, Bawel nakal!” Kesalnya.
“Dasar, Cerewet payah!” Rahma membalas. “Sore nanti, kutunggu di taman. Kita merayakan kelulusan ini” Lanjutnya. “Aku pulang dulu ya, bye” Lanjutnya lagi dan berlalu keluar.
Doni menurut saja dengan ajakan sahabatnya itu. Mereka sangat akrab dan memang sudah menjadi sahabat baik sejak kecil karena rumah mereka yang dekat, berhadapan. Orangtua mereka juga saling kenal baik.
“Kamu yang mengajak, kamu yang telat. Dasar, Bawel payah!” Cetus Doni kesal saat Rahma datang, ketika mereka sudah bertemu di taman.
“Payah? Itu kan gelarmu?” Ralat Rahma sambil memarkirkan sepedanya di samping kursi tempat Doni duduk menunggunya. Doni hanya tertawa kecil.
“Oh, iya. Kamu.. Hmm.. Uhhh” Ucapan Rahma terputus, dia sibuk dengan matanya yang tiba-tiba kelilipan.
“Jangan dikucek, nanti matamu malah merah. Sini!” Sergah Doni.
Doni meraih tangan Rahma yang masih sibuk mengucek matanya. Kemudian kedua tangannya berpindah ke kepala Rahma dan mendekatkan ke depan wajahnya. Dekat sekali. Kemudian, Doni meniup mata Rahma pelan, beberapa kali hingga Rahma merasa matanya sudah normal.
“Bagaimana?” Tanya Doni akhirnya.
“Su-sudah enakan, terimakasih” Jawabnya sedikit terbata.
Rahma jadi salah tingkah. Dia mengucek matanya kembali yang sudah tidak kenapa-napa untuk menutupi kecanggungannya. Baru kali ini dirinya merasa canggung pada Doni yang merupakan sahabatnya sendiri, bahkan sudah sejak kecil.
“Jangan dikucek lagi, Bawel nakal!” Sergah Doni kembali. Kali ini, dengan mencubit kedua pipi Rahma, gemas.
“Sakit, Cerewet payah!” Kesal Rahma.
“Eh, Tadi mau bilang apa? Tanya Doni kemudian.
“Oh, iya. Hampir lupa” Ucap Rahma. “Aku cuma mau nanya, kamu mau lanjutin sekolah kemana?” Lanjutnya mulai serius.
Doni seketika terdiam, lagi-lagi sesuatu sedang dipikirkan olehnya. Pertanyaan Rahma membuat perasaannya kacau. Entah apa, tapi terasa berat bagi Doni untuk menjawab pertanyaan ini.
“A-aku..” Suara Doni keluar, tapi terbata.
“Kenapa?” Tanya Rahma merasa aneh.
“Aku.. Tidak bi-bisa.. Lagi” Jawabnya pelan masih terbata. Doni menunduk.
“Tidak bisa apa?” Rahma sama sekali tidak mengerti. “Cerewet Payah, ada apa? Kok kamu jadi aneh gitu?” Desak Rahma, sementara Doni masih membisu namun berusaha menyusun kata-katanya yang berserakan.
“Kita tidak.. Tidak bisa lagi.. Bersama. Maafkan aku, Cerewet Payah-mu ini” Jawab Doni akhirnya, lirih.
“Apa maksudmu? Aku.. Aku masih belum mengerti” Rahma bingung.
“Maafkan aku, Bawel Nakal. Aku.. Aku telah mengambil keputusan menerima beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke Amerika. Dan dua hari lagi, keberangkatanku” Jawabnya berat, masih dengan nada lirih yang dalam. Matanya mulai berkaca-kaca, tatapnya kosong entah kemana.
Hening, tidak bergeming. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing. Doni merasa bersalah dan sangat berat meninggalkan sahabatnya, sulit untuk mereka nantinya. Bahkan, tidak dalam cakupan yang mudah untuk selalu bersama lagi.
Sementara, Rahma, tidak tahu kenapa, perasaannya seperti dirampas. Dia tidak menyangka kegembiraannya setelah lulus SMA dan akan menjadi seorang mahasiswa, akan berubah menjadi sesuatu yang amat sulit dia terima. Ternyata, inilah kenyataan pahit dibalik diamnya Doni yang mengganjal sedari siang tadi, sebuah perpisahan.
Sejak kejadian itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Rahma memilih untuk mengasingkan diri dari Doni yang akan meninggalkannya. Dia selalu berusaha untuk tidak memikirkan hal yang akan membuatnya kehilangan itu. Bahkan, mungkin, dia berusaha untuk lupa dan meyakinkan hal itu tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi padanya.
Kenyataannya, itu semua bertolak belakang dengan apa yang akan tetap harus Rahma tempuhi. Sungguh dirinya tidak bisa. Tidak sanggup.
Doni sendiri tidak merasa aneh dengan reaksi Rahma yang tentu saja sedikit menyiksa ini. Tidak terlalu banyak bertindak seakan tidak peduli. Tapi, bukan itulah maksudnya. Hanya saja, Doni mengerti sahabatnya itu, sangat paham. Pikirnya, dia tidak ingin menambah tekanan rasa kecewa itu pada Rahma.
Hingga akhirnya tibalah saat dimana Doni, akan meninggalkan kepingan-kepingan cerita bersama Rahma yang kini sudah jatuh berserakan diterpa hembusan kehilangan. Dari awal kejujurannya yang ternyata tindakan salah itu, hingga sekarang, Doni tengah mendapati dirinya yang hanya sendirian di antara gemuruh pinggiran jauh bibir landasan pesawat yang akan membawanya meninggalkan kepingan cerita bersama Rahma itu.
Beberapa orang mulai sibuk berlalu melintasinya yang masih berdiri tegak merendam diri dalam kenyataan pahit ini. Sebelum berangkat ke Bandara, Doni tidak menampakkan dirinya pada Rahma yang sudah terlanjur kecewa padanya. Masih pada alasan yang sama, dia tidak ingin menambah tekanan rasa kecewa itu. Dia ingin rasa kecewa itu tidak akan lama melekat pada jiwa Rahma, dia ingin rasa kecewa itu mendarat hilang bersamaan dengan mendaratnya pesawat yang akan membawanya menjauh dari kebersamaan yang mungkin tidak akan terjadi lagi.
Beberapa orang masih berlalu melintasinya. Namun, Doni masih tidak bisa menggerakan kakinya untuk melangkah meninggalkan bercak kepedihan ini. Rasanya, tidak ingin dirinya beranjak, membiarkan semua berlalu, agar dirinya dapat memungut kepingan cerita bersama Rahma yang sudah jatuh berserakan itu.
Masih dalam kesendirian diri yang didapatinya hingga saat ini, Doni terlarut. Pandangannya kosong lurus menatap ke depan. Pikirannya entah kemana. Perasaannya remuk, hancur.
“Wet..”
Panggilan lirih membuyarkan pikiran Doni yang sempat melayang. Suara itu, suara yang tidak asing lagi baginya, suara yang selama ini mengalun bersama hidupnya, suara orang yang sudah menjadi belahan jiwanya. Pemilik suara itu, tentu saja sungguh dikenalnya.
“Bawel? Benarkah itu kamu?” Sontak, Doni segera menuju sumber suara. Kakinya terhenti dengan segera pula dalam jarak yang terjaga di hadapan seseorang yang terlihat tengah berat memikul perih hati.
“Maafkan.. Akuuu..” Suara itu terdengar pasrah. Rahma menunduk lemah, tidak kuat menatap seseorang yang akan jauh meninggalkannya.
Ucapan itu seakan menggores dinding pertahanan Doni. Didekapnya segera dalam pelukan, orang yang sedari tadi tidak disangkanya akan hadir di tengah kegelisahannya yang sedang seorang diri mengahadapi kenyataan berat ini. Rahma terisak-isak dalam dekapannya. Tidak kuat lagi dirinya menyembunyikan air mata yang sudah membendung.
“Aku memang egois, tidak seharusnya aku begini” Sesal Rahma, mulai melepas dekapannya dari pelukan hangat kasih sayang seorang sahabat.
“Maafkan aku, Bawel Nakal. Aku memang seorang sahabat yang jahat, aku..”
“Sudahlah” Potong Rahma. “Akulah yang nyata jahatnya, menghalangi sahabatnya sendiri untuk memilih jalan hidup. Memang gila, egois” Lanjutnya.
“Bawel..” Desis Doni lemah.
“Sudah! Jangan cemaskan aku. Aku tidak akan menjadi penghalangmu lagi. Kejarlah mimpimu disana. Aku akan baik disini” Rahma mulai mengembangkan senyumnya.
“Inilah Bawel Nakal-ku!” Balas Doni juga tersenyum. “Kamu memang terbaik bagiku” Lanjutnya sambil menyeka air mata yang masih tersisa di kedua pipi Rahma.
“Pergilah! Hingga aku tidak bisa bernafas sekalipun, aku akan selalu setia menunggumu untuk membawa mimpimu itu” Tutur Rahma meyakinkan. Doni merekahkan senyum lega.
Pesawat akan segera berangkat. Dengan setengah berlari, Doni meninggalkan Rahma yang masih tersenyum padanya. “Aku pegang janjimu, Bawel Nakal” Teriaknya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Rahma. Tentu, Cerewet Payah! Berpisah bukan berarti berakhir.. Kita akan bersama lagi suatu saat nanti, entah dimana. Hati Rahma berucap.
sumber disini
Read more ...»

The Last Song For Mom

On Kamis, 30 Oktober 2014 0 komentar


Di pesisir pantai Taman Ria, terlihat seorang gadis yang berambut panjang sepinggang. Rambutnya teracak-acak karena hembusan angin malam di pantai tersebut.
“Deva, kamu ngapain di sini? Hari sudah malam, angin pun bertiup kencang. Pasti Bundamu khawatir kalau kamu telat pulang” Ucap Stefy sahabat Deva yang baru saja mendatanginya
“Hhmm, aku malas di rumah. Aku ingin di sini. Disinilah aku dan ayahku memancing ikan” Jawab Deva
“Seandainya Ayahku masih hidup? Aku tidak akan sesedih ini, Stef” Sambung Deva lagi dengan wajah cemberut
“Yah, sebaiknya kamu pulang, nanti kamu sakit, kalau kamu sakit. Siapa yang rawat? Kan, kasihan Bunda kamu, sudah capek mengurusmu” Ucapnya lagi
“Iyah, yah. Makasih, stef. Kamu udah ingetin aku. Kalau Bundaku pasti capek dan khawatir” Ucap Deva
“Iyah, sama-sama” Ucap Stefy
“Yah, sudah. Aku pulang yahh! Dahh bye” Ucap Deva dan berlalu pergi
“Bye!” Sahut Stefy
Deva pun pulang ke rumah. Tampaknya, wajah Deva sudah kelihatan pucat.
@Home
“Pasti, kamu dari pantai, yah?” Tanya Devan kakak Deva
“Iyah, kak” Jawab Deva
“Kan, Kakak bilang jangan terlalu lama di pantai. Nih, kamu udah pucat” Ucap Devan dengan marah-marah
“Iyah, kak. Maaf” Sesal Deva
“Yah, sudah. Nih, ambil kertas yang ada di tangan kakak” Ucap Devan sambil memberi selembar kertas
“Ini apa, kak?” Tanya Deva
“Itu, brosur lomba Pop Singer. Ikuti saja lomba tersebut. Siapa tahu, kamu menang” Jelas Devan
“Tapi, kak. Suara Deva jelek. Deva pun gak bisa bernyanyi” Ucap Deva
“Never Say I Can’t, Okey. Deva, Kakak yakin kamu bisa” Ucap Devan
“Deva sayang, kamu bisa. Bunda ingin lihat kalau kamu bisa menjadi juara 1. Buat Bunda bangga, sayang” Ucap Bunda Deva yang mendatangi Deva dan Devan
“Deva, mau ikuti lomba itu, Mah, kak. Tapi, Deva mau minta pendapat dari sahabat Deva dulu” Ucap Deva
“Baiklah, dek. Nanti besok kakak belum daftarkan kamu, tetapi nanti lusa” Ucap Devan
“Makasih, kak” Ucap Deva
“Iyah, Adek ku sayang” Ucap Devan dengan senyuman
Esok harinya… Sinar fajar mulai merasuk masuk ke kamar Deva yang semula gelap menjadi terang. Pagi-pagi sekali Deva sudah bangun dan telah bersiap untuk berangkat ke sekolahnya. Hari ini cuaca sangat bersahabat sama apa yang di rasakan Deva. Ia kelihatan beda hari ini, Deva sangat bersemangat ingin memberitahu tentang Lomba Pop Singer itu kepada sahabatnya. Meskipun begitu, di hati Deva juga ada keraguan.
@School
“Assalamu alaikum. Hey, teman-teman.. Pagi!!” Sapa Deva kepada kedua sahabatnya Stefy dan Fendi
“Wa alaikum salam, Pagi juga?” Jawab Fendi
“Pagi juga!!?” Jawab Stefy
“Chyee, Deva tumben pagi gini kamu sangat bersemangat?” Tanya Stefy
“Iyah, Dev. Ada apa gerangan?” Sambung Fendi
“Gini, nih. Aku mau minta pendapat, kalian. Kalau aku ikut lomba Pop Singer di Festival Teluk Palu, Bagaimana?” Tanya Deva
“Wah, Good!! Ikuti saja, Dev. Siapa tau kamu menang!” Ucap Stefy
“Aku sependapat dengan Stefy. Ikut saja, Dev” Ucap Fendi
“Tapi, aku gak pede untuk ikutin Lomba, itu. Suara aku itu.. kayak gimana, yahh?! Jelek” Ucap Deva
“Jangan ngomong, gitu. Suara kamu bagus, Dev. Yah, Cuma perlu tag vokal sedikit aja. Percaya Diri, Dev!” Ucap Fendi menyemangati
“Baru sadar kalau suara kamu jelek” Ledek Clara yang baru saja tiba
“Apa-apa’an, sih, Clar. Gak ada kabel langsung nyambung-nyambung.. Huufft Kepo!” Ucap Stefy
“Emang kenyataan, kok. Kalau suara Deva jelek! Iyah, kan?” Ucap Clara sambil mencibir
“Bener banget!!! Nget, nget, nget” Sambung Novi dan Nia teman Clara
“Alay kalian semua!!” Ucap Stefy
“Sudah-sudah, kalian gak usah berkelahi. Gak ada gunanya, tau” Ucap Fendi
“Bukan gitu, Fen. Aku Cuma mau bela Deva, kok” Cegat Stefy
“Tapi, gak usah..” Ucap Fendi terpotong
“Hey, Sudahlah tidak usah banyak ngomong.” Ucap Deva
“Iyah!” Ucap Fendi dan Stefy
Hari terus berlanjut, Devan telah mendaftarkan Deva untuk mengikuti lomba itu. Deva pun terus berlatih dan berlatih di bantu dengan sahabatnya Stefy dan Fendi. Namun, ada saja yang mengejek Deva saat berlatih siapa lagi kalau bukan Clara, Novi dan Nia. Mereka mengejek Deva dengan kata-kata yang menyakiti hati. Ejekan itu membuat Deva menjadi pesimis. Kaila dan Fendi selalu menyemangati Deva. Deva pun menjadi bangkit dan semangat.
“Okey, hari ini aku mau latihan dengan serius! Figthing! Jadi, aku harus mulai dari mana?” Tanya Deva
“Coba kamu latihan mengatur nafasmu dulu” Saran Fendi
“Gimana caranya?” Tanya Deva lagi
“dengar yahh.. saat menyanyi kamu harus mengambil nada rendah dulu” Ucap Stefy
“Ngerti-ngerti.. truss?” Tanya Deva
“Step kedua saat kamu tidak bisa mengambil nada tinggi perlahan angkat bahumu seperti ini” Ucap Stefy sambil mempraktikan
“Okey sip” Ucap Deva
“Sekarang coba kamu menyanyikan sebuah lagu” Pinta Fendi dan Stefy. Deva pun menyanyikan lagu berjudul ayah. Saking merdu suaranya Deva. Fendi dan Stefy menjadi terharu dan kedua sahabatnya bertepuk tangan. Fendi dan Stefy sudah yakin kalau Deva telah siap untuk mengikuti lomba pop singer.
Hari yang ditunggupun tiba. Lomba Pop Singer akan di mulai sebentar lagi. Deva berada di belakang panggung dengan jantung yang berdegub kencang Dug, Dug, Dug. Pada saat itu, tiba-tiba saja Clara menjadi baik, ia memberikan jus kepada Deva. Saat Deva meminum jus itu, suara Deva menjadi serak dan tak merdu lagi untuk bernyanyi. Padahal sebentar lagi penampilannya. Rupanya, Clara hanya berpura-pura baik. Clara hanya ingin Deva tidak bisa bernyanyi. Saat di panggung, Lagu pun diputar, Deva hanya bisa terdiam. Akhirnya, Deva di diskualifikasi. Tiba-tiba saja, Hp Deva bergetar Dr, dr, drr ada telepon dari Devan… Deva pun menjawab telepon itu.
“Assalamu a’laikum Dek, Cepat ke rumah sakit, cepat, cepat ada yang gawat” Ucap Devan dengan panik
“ekhem, khem Wa a’laikum salam, kak. Kenapa? Ada apa?” Tanya Deva dengan wajah yang kebingungan
“Dek, Bun, Bun, Bunda masuk rumah sakit!!” Ucap Devan
“Apa? Bunda masuk rumah sakit?!! Astagfirullah… Rumah sakit apa, kak?” Tanya Deva yang sama paniknya dengan Devan
“Rumah Sakit Undata!!! Deva, cepat!!” Ucap Devan. Tanpa pikir panjang segera Deva berlari mencari taksi untuk pergi ke Rumah Sakit
@Hospital_Undata
“Bunda, Bunda, Bunda kenapa?” Tanya Deva
“Bunda tak apa, sayang. Bagaimana dengan lombamu?” Tanya Bunda Deva dengan suara yang lembut
“Ma, ma, Maaf Bun. Deva telah di diskualifikasi” Ucap Deva dengan terbata-bata
“Tak apa, sayang. Bagi Bunda kamu sudah hebat! Cobalah bernyanyi untuk Bunda yang terakhir kalinya” Ucap Bunda Deva
“Apa maksud dengan perkataan, Bunda?” Tanya Deva dengan isak tangis
“Bernyanyi saja, sayang. Untuk Bunda” Ucap Bunda Deva. Deva hanya menangis. Kakaknya, Devan hanya bisa terdiam mendengar perkataan Bunda mereka.
Ku Buka Album Biru
Penuh Debu dan Kusam
Teringat Semua Cerita Orang
Tentang Riwayatku
Kata Mereka Diriku
Slalu di Manja
Kata Mereka Diriku
Slalu di Timang
Ohh, Bunda Ada dan Tiada Dirimu Kan
Selalu Ada di Dalam.. Hatiku…~
Itulah nyanyian Deva. Bunda Deva pun menghembuskan nafas terakhirnya.
“Bunda…!!! Jangan tinggalin, Deva” Ucap Deva dengan menangis. Air mata Deva terus saja mengalir. Deva baru mengetahui bahwa Ibunya mempunyai penyakit jantung. Esok harinya, Jazad Bunda Deva telah di kuburkan. Deva hanya bisa bersabar menerima semuanya dengan lapang dada. Apa yang telah terjadi dengannya. Itu semua adalah cobaan dari tuhan yang maha esa.
9 tahun kemudian. Kini Deva telah menjadi penyanyi terkenal karena ia mengikuti Indonesian Idol. Hidup Deva penuh kecukupan. Kakaknya Devan sedang fokus pada bisnis meubel. Sahabatnya, Stefy menjadi Model dan Fendi menjadi Dokter Umum. Sedangkan Clara menjadi baby sitter, Nia menjadi penjual kue, Novi menjadi pedagang sayur. Deva pun bahagia karena impiannya menjadi penyanyi terkenal tercapai dan iapun telah membanggakan alm. Bundanya.
sumber http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/the-last-song-for-mom.html
Read more ...»

Ku Relakan Dia Demi Sahabatku

On 0 komentar


Masa-masa SMA adalah masa peralihan dari seragam putih biru menjadi putih abu-abu. Masa ini juga mulai mengajarkan akan indahnya dunia luar, persahabatan, dan juga kerja sama. Tapi, rasanya belum lengkap apabila kata “cinta” tak disertakan.
Yap, sama seperti remaja pada umumnya yang mulai mengerti tentang perasaan itu. Termasuk gue. Kezia Putri, itulah nama gue. Gue adalah salah satu siswi SMA Citra Nusa. Sekarang gue udah kelas X. Di kelas ini gue mulai kenal sama beberapa anak yang menurut gue cocok buat jadi sahabat gue, namanya Vika dan Dira. Kalau gue udah ngobrol bareng mereka pasti udah lupa sama yang lainnya. Di kelas ini gue juga kenal sama cowok yang satu satunya bisa membuat gue ngerasain perasaan yang sebelumnya belum pernah gue rasain ke cowok-cowok lainnya, namanya Gio. Menurut gue dia anaknya asik, baik dan menarik. Gak heran kalau dia banyak yang naksir, mulai dari temen sekelas, anak kelas lain, bahkan sampai kakak kelas pun menaruh perhatian ke dia. Karena hal itu, sampai sekarang gue gak berani buat nunjukin rasa gue ke dia.
Gue mulai deket sama dia semenjak gue chatting lewat fb atau sekedar sms an sama dia. Tapi selain lewat fb dan sms gue gak pernah ngobrol lama sama dia, apalagi kalau di sekolah. Kadang gue Cuma ngeliatin doang dari jauh. Kasian banget ya gue..
Waktu pun terus berlalu, udah hampir satu tahun gue sekelas sama 2 sahabat gue dan Gio. Dan sebentar lagi, gue akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Semua berlangsung sukses. Karena nilai gue, Vika, dan Dira yang terbilang bagus akhirnya saat masuk sekolah setelah liburan semester tepatnya saat pembagian kelas, gue, Vika dan Dira pindah kelas ke XI IPA 1. Sedangkan Gio pindah ke kelas XI IPS 2. Dengan kelas kita yang berbeda, gue harap gue bisa ngelupain perasaan gue ke Gio.
Namun, setelah beberapa bulan gue masih belum bisa ngelupain Gio, bahkan gue udah coba buat suka sama temen sekelas gue tapi gak bisa. Ternyata di hati gue emang masih ada Gio.
“Zia, gue pengen nanya sesuatu ke lo.” Kata Vika. Sebelumnya Vika gak pernah nanya se-serius ini. “lo pengin nanya apa?” kata gue. “sebenarnya, lo masih suka gak sih, sama Gio?”. Gue sedikit kaget dengernya. Emang dari dulu Vika sama Dira itu tau kalau gue suka sama Gio.. Gue pengin banget bisa bilang kalau gue masih suka sama Gio, tapi lebih baik kalau gue bilang gue udah gak ada perasaan ke gio. “gue udah gak suka lagi kok sama Gio.” Kata gue dengan berat hati. “emang kenapa?” sambung gue. “emm.. m.. em.. sebenernya akhir akhir ini gue mulai suka sama Gio.” Kata Vika. Gue sama Dira langsung kaget dengernya. Vika itu jarang banget bilang ke gue sama Dira kalau dia lagi suka sama seseorang. “serius lo?” kata dira. “emang aneh ya, kalau gue bisa suka sama Gio?” kata Vika. “gak, kok.. gak apa apa!” kata gue. Gue langsung bingung, gue suka sama orang yang disukai sama sahabat gue sendiri. Gue harus ngelupain Gio demi sahabat gue.
Lama lama gue mulai coba buat lupain Gio, tapi susah banget. Dan akhirnya, hari hari gue mulai dihiasi rasa galau. “kenapa, Zia? Lo keliatannya galau, gitu.” Kata Dira. Gue udah ga ktahan buat memendam rasa ini sendirian, gue pun coba buat berani cerita ke Dira.
“ra, lo jangan cerita ya masalah ini ke Vika. Sebenernya, gue masih suka sama Gio. Gue udah coba buat lupain dia, tapi susah banget.” kata gue. Dira sedikit kaget dengernya. “tapi kenapa lo bilang ke Vika kalau lo udah gak suka lagi sama Gio?” kata Vika. “lo kan tau, Vika itu jarang cerita kaya gitu ke kita, jadi gue gak mau sakitin hati dia.” kata gue. “iya, gue tau. Tapi kalau kaya gini caranya sama aja lo udah sakitin hati lo sendiri.” kata Dira. “Sekarang gue mau lo cerita yang sebenarnya ke Vika!” kata Dira. “tapi, ra..” kata gue sedikit mengelak. “kita kan sahabat, lo gak mau kan persahabatan kita ancur Cuma gara gara ada yang ditutup-tutupi dari kita?” kata Dira. Gue Cuma terdiam denger kata kata Dira. Tanpa panjang lebar, Dira langsung tarik tangan Vika keluar kelas. Gue Cuma bisa perhatiin dari balik jendela.
“ka, gue mohon lo jangan marah sama Kezia. lo jangan salah paham sama dia, ya!” kata Dira. “emang ada apa sih?” kata Vika. “sebenernya.. kezia masih suka sama Gio.” Kata Dira dengan suara lirih. Spontan raut muka Vika berubah. “kenapa dia gak terus terang?” tanya Vika. “dia Cuma gak mau sakitin hati lo.” Kata Dira.
Setelah Vika mendengar jawaban Dira, Vika langsung masuk ke kelas menemui gue. “Zia, gue mau minta maaf karena gue udah buat lo jadi sedih kaya gini. Tenang aja, Zia, gue bakal jauhin Gio, kok!” kata Vika. “lo gak boleh gitu, gue mau lo tetep pertahankan hubungan lo sama Gio, ya?” kata gue. “tapi gimana dengan lo?” tanya vika ke gue. “gak usah pikirin perasaan gue. Lo tetep sama Gio aja udah cukup bikin gue seneng.” Kata gue disertai sedikit senyuman. “Lo tetep sama Gio demi gue, oke?” kata gue. “kalau itu yang lo mau, gue bakal lakuin.” Kata Vika.
Setelah kejadian itu, hati gue ngerasa lebih lega rasanya udah bisa terus terang sama Vika, dan sekarang gue udah bener-bener lupain Gio. Sebulan kemudian, Vika sama Gio jadian. “selamat ya, ka!” kata gue. “selamat ya, ka! Moga langgeng deh.” Kata Dira. “Oiya, ra. Gue mau bilang terima kasih ke lo karena lo udah bikin gue jujur sama Vika.” Kata gue. “kita kan sahabat.. hehehe…” kata dira. Coba aja waktu itu gue gak bisa ngalahin rasa ego gue, pasti kejadiannya gak kaya gini. Persahabatan gue makin erat, dan gak ada yang harus ditutup-tutupin lagi..
Sekilas Info:
Bagi para pembaca, apabila anda mengganggap cerpen/kisah ini adalah kisah pribadi si Penulis, berarti anda salah besar.
“cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, waktu, dan kejadian merupakan kesalahan yang tidak disengaja.”
sumber disini
Read more ...»

Apakah jarak yang terpisah akan memisahkan ikatan?

On 0 komentar

Apakah jarak yang terpisah akan memisahkan ikatan?

Kenapa semua berubah..
Mereka semua berubah sa'at aku tak lagi di dekat mereka...
Sa'at aku tak lagi bersama mereka..
Mereka menjauhi ku..
Mereka seperti orang yang gak kenal aku siapa.,.
Apa dengan jarak yang terpisah akan memisahkan ikatan antara kita...
Aku hanya pergi dari rumah ku dulu...
Rumah dimana aku selalu bersama mereka ..
Tertawa bersama.. Bahagia bersama,..
Dan kasih sayang yang indah ...
Tapi ketika aku pergi dari rumah...
Hal itu seperti semuanya hilang....
Canda itu... Tawa itu.. Kini hilang dari hidupku..
Apa mereka merasakan sakit yang ku rasak
Rasanya kehilangan orang yang sangat ku sayangi begitu sakit..
Apa mereka pernah merasakan hal seperti itu???
Kini... aku kehilangan mereka,...
Mereka yang selalu membuat hidupku bahagia..
Aku tau... Bahkan sangat tau kita tak lagi bersama dalam tempat yang sama..
Tapi apa bisa kita bersama dalam hati kita..
Apa kalian marah aku tak lagi di dekat kalian ,...
Tapi kemarahan kalian tak sebanding dengan sakitnya aku kehilangan kalian..
Apa hilangnya aku di dekat kalian, apa kalian juga akan menghilangkan nama ku di hidup kalian
Hingga kalian sekarang seperti gak kenal aku..
Kalian seperti tak peduli.
Kemana kalian yang dulu..
Apaa aku harus kembali di rumah ini..
Untuk kembali mendapatkan sifat kalian yang seperti dulu untuk ku??
Apa seperti itu ....
Tapi apa seperti itu yang di sebut sahabat??
Aku hanya ingin kalian seperti dulu,,
Meski kita sekrang berjauhan tapi kita tetap selalu bersama...
Sampai aku kembali nanti..
Tapi aku yakin itu semua hanya mimpi..
Jika memang kita di takdirkan untuk berpisah selamanya dengan jalan ini aku pergi dari dekat kalian
Aku akan pergi..
Tapi.... Jika aku kembali nanti .. Jangan pernah cari aku yang dulu
Karena mungkin aku yang dulu pergi..
Goodbye Untuk mereka
sumber disini
Read more ...»

Tangis Terindah

On 0 komentar


Tangis Terindah - Cerpen Remaja


Tak pernah ku kira cinta seperti ini. Cinta membuatku rapuh. Dan cinta membuatku terjebak dalam kebingunganku sendiri. Dan Kawan, inilah ceritaku.

Dulu aku sangat membenci pria itu. Aku merasa lelaki yang baru dua bulan menjadi tetanggaku itu benar-benar menyebalkan. Dia selalu megikuti dan menggangguku.

Tapi sekarang, semua seperti berbanding terbalik. Aku membutuhkannya, dan aku sangat menginginkannya.

Dia selalu membawa keceriaan. Selalu tersenyum dan membuat orang di sekitarnya ikut tersenyum. Seperti tak ada masalah dalam hidupnya.Aku rasa dia adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Dimas namanya.
“Apa kau mencintainya, Rena?” tanya Intan, sahabatku.
“Entahlah. Tapi aku sangat nyaman bersamanya” jawabku.
“Kau baru mengenalnya” kata Intan lagi.
“Ini hanya masalah waktu, Intan” jawabku sambil menatap mata Intan
“Ya ya ya. Tapi…”
“Tapi apa?” tanyaku
‘Bagaimana dengan Reza?” ucap Intan.
“Reza??? Ada apa dengan Reza?” tanyaku bingung.
“Sepertinya ia menyukaimu” jawab Intan
“Haha.. kau tak usah mengarang, Intan. Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Dan kedekatan kami juga hanya sebatas itu.” tuturku sambil tertawa.
“Lalu bagaimana jika ia benar-benar menyukaimu? Sedangkan Dimas dan Reza adalah sahabat. Kau akan pilih yang mana?” tanyanya cukup serius kepadaku.

Aku hanya terdiam. Tak pernah terbesit dalam benakku pertanyaan seperti itu. Dan sekarang aku tak bisa memikirkannya. Enatahlah, aku bingung. Dan semoga saja itu hanya perasaan Intan.


Kawan, aku memang tak mau banyak berharap. Tapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda pada diri Dimas. Dia sangat baik dan perhatian padaku. Apa ini hanya perasaanku saja? Entahlah. Tapi aku berharap dia memiliki rasa yang sama denganku.

Aku pulang masih dengan rasa penasaran dan penuh harap pada Dimas. Tiba-tiba aku bertemu dengan Dimas.
“Hei…!!!” kata Dimas menghampiriku.

Ia menatapku lembut. Tahukah Kawan, tapannya benar-benar telah melumpuhkan hatiku. Saat jantungku berdetak kencang dan darahku mengalir sangat deras, tak henti-hentinya hati kecilku berkata “AKU MENCINTAINYA”
“Hei Rena…” ulangnya lagi.
“Hh..hai…” jawabku tersadar dari lamunanku.
“Dari mana?” tanyanya.
“Dari taman.” jawabku.
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.” Kata Dimas.

Aku tersenyum dan berkata, “Tanya apa?”
“Apa Reza kekasihmu?” tanyanya serius.
“Haha… Kekasih? Bukan. Dia bukan kekasihku. Aku tidak punya kekasih, Dimas. Dia sahabatku” jelasku.
“Tapi sepertinya dia menyukaimu. Nama kalian juga cocok, Rena dan Reza.” ucapnya lagi.

Kawan, aku sangat kaget saat Dimas berbicara seperti itu. Kenapa pemikirannya sama dengan apa yang Intan pikirkan? Rasanya aku ingin mengatakan bahwa aku menyukainya, bukan Reza. Dan berharap Dimas pun memiliki rasa yang sama padaku. Tapi, sudahlah. Aku mencoba melupakan perkataan Dimas. Pasti dia hanya bercanda.

Semakin lama semakin aku dekat dengan Dimas. Dia memang orang yang baik dan perhatian. Hatiku buta. Tetapi tidak saat bersamanya. Aku merasa sangat bahagia saat dia ada di sisiku. Entah sihir apa yang membuatku begitu menyayanginya. Rasanya tak ingin sedetik pun aku berpisah dengannya.

Entah sampai kapan harus ku pendam perasaan ini. Perasaan yang sewaktu-waktu dapat membuatku melayang sampai langit ke tujuh, dan sewaktu-waktu pula dapat membuatku tersungkur sampai palung laut yang paling dalam.

Sore ini Dimas mengajakku ke perpustakaan dengan jalan kaki, karena jarak dari rumah kami ke perpustakaan tidak terlalu jauh.
“Selamat sore…” sapa Dimas sambil menunjukkan lesung pipitnya.
“Sore…” jawabku.
“Sudah siap?” tanyanya

Aku hanya tersenyum melihatnya yang hari ini tampil berbeda tapi tetap terlihat tampan. Mau tampil seperti apa pun dia memang terlihat tampan di mataku. Hahaha…

Sesampainya di perpustakaan, kami langsung menuju ke tempat buku favorit kami masing-masing. Aku baru tahu, dia adalah penggemar sastra. Pantas saja kata-katanya selama ini selalu bisa mendinginkan pikiranku di tengah panasnya emosiku. Dan selalu bisa membuat hatiku mencair di tengah kebekuan.
Langit terlihat agak mendung.

Aku berniat untuk mampir sebentar ke rumah Dimas.

Sesampainya di sana kedatanganku disambut hangat oleh Bibi Erin, Ibu Dimas.
“Aku ke belakang dulu ya” kata Dimas.

Dimas menyiapkan minum untukku. Sementara Bibi Erin kembali ke kamar.

Aku melihat tumpukan buku di atas meja ruang keluarga. Aku berniat untuk membacanya. Tapi aku menemukan sebuah foto di atas tumpukan buku-buku itu.

Aku mengambil dan melihat foto itu. Ternyata itu adalah foto Dimas, tapi dengan seorang wanita. Siapa wanita itu?

Kawan, kagetnya aku ketika melihat foto itu. Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Siapa wanita ini? Rasanya seperti ada jarum yang masuk dan menusuk-nusuk hatiku. Rasanya sakit sekali.
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya saat Dimas datang membawakan minuman untukku.
“Dimas, ini foto siapa?” tanyaku mencoba tenang.

Dimas terdiam, dan membuatku mengulang pertanyaanku lagi.
“Dimas, ini foto siapa?” tanyaku lagi
“Ii..ini fotoku” jawabnya sedikit gugup.
“Bukan. Maksudku yang ini” tanyaku sambil menunjuk foto wanita itu.

Aku mencoba tenang, lebih tenang dan sangat tenang. Tapi aku tak bisa. Kawan, aku ingin menangis. Tapi, aku berusaha untuk membendung air mataku.

Dimas sesaat menarik nafas panjang dan menjawab, “Dia Febi, KEKASIHKU !!!”

DEG…!!! Aku merasa dunia berhenti berputar dan waktu berhenti berjalan saat Dimas mengatakan seperti itu. Apa??? Jadi Dimas sudah punya kekasih. Lalu apa maksud sikapnya padaku selama ini? Dia selalu mengisi kekosongan dalam hidupku. Dan dia yang memenuhi ruang dalam hatiku.
Kawan, taukah kalian? Rasanya sakit sekali mengetahui Dimas sudah mempunyai kekasih.

Aku pergi begitu saja dari rumah Dimas. Tak bisa lagi ku pendam air mataku. Aku menangis. Seperti derasnya hujan di luar sana. Aku tak peduli Dimas akan tahu bahwa aku mencintainya.

Bodohnya aku menganggap dia mencintaiku. Bodohnya aku yang memberinya ruang khusus dalam hatiku. Bodohnya aku yang selalu menunggunya di bawah kubah rinduku.

Kawan, aku mengurung diri dalam kamar setelah mandi dan mengganti pakaiaanku. Aku menyesal telah menyukainya dan mengira ia juga menyukaiku.

Dimas meneleponku, tapi tak ku angkat. Aku benar-benar tidak ingin diganggu. Aku ingin melupakan kejadian menyakitkan yang kualami tadi.

*****
Sejak kejadian itu, aku tak pernah bertemu dengan Dimas. Entahlah, Bibi Erin juga tak pernah berkunjung ke rumahku lagi. Aku merindukan kehangatan dari mereka.

Tiba-tiba Reza yang sudah lama tak menampakkan dirinya datang ke rumahku saat aku sedang duduk-duduk di teras.
“Rena…” sapanya.
“Hai…” jawabku dengan senyum tipis.
“Maafkan aku” katanya dengan wajah penuh sesal.
“Maaf? Untuk apa?” tanyaku bingung.
“Aku telah merusak hubunganmu dengan Dimas” katanya lagi.

Aku semakin tak mengerti dengan apa yang dikatakan Reza.
“Hubungan apa? Sungguh. Aku tak mengerti apa yang kau katakan” tambahku.
“Aku tau sekarang, kau mencintai Dimas kan? Dan Dimas pun begitu. Tapi karena ia tahu aku menyukaimu, Dimas tak pernah mengungkapkan perasaannya padamu” jelasnya.
“Jadi… benar kau…”
“Maaf Rena, aku menyukaimu” kata Reza. “Aku membawa surat tentang perasaan Dimas kepadamu yang ia buat sebelum ia kritis di rumah sakit. Ibunya yang menitipkan ini padaku” jelasnya lagi sambil memberikan surat itu padaku.
”Dimas di rumah sakit?” tanyaku kaget
“Ya. Ia mengidap kanker otak stadium akhir”

Kawan, aku sangat terkejut. Ternyata pangeran dalam hatiku yang selalu ceria ternyata memiliki beban yang sangat berat dalam hidupnya.

Aku mulai membaca surat dari Dimas sambil terus menangis

“Dear Rena…
Terima kasih Rena, kau selalu hadir dalam hari-hari terakhirku. Hari-hari di mana aku berjuang untuk hidup. Dan hari-hari di mana aku ingin selalu berada di sampingmu.

Aku tak tau berapa menit lagi aku hidup, dan berapa detik lagi aku mampu menulis. Tapi yang aku tau, selamanya aku akan tetap mencintaimu.

Aku mencintaimu secara sederhana. Sesederhana kayu yang berubah menjadi arang karena terbakar, dan sesederhana lilin yang rela melelehkan tubuhnya demi menerangi kegelapan.

Aku mencintaimu dengan segala kekuranganku. Dari sekian banyak hal yang aku takutkan, salah satunya adalah aku takut kehilangan dirimu.

Maaf aku berbohong kepadamu. Foto itu adalah foto sepupuku di kampung. Aku melakukannya agar kau membenciku. Karena aku tak mau kau bersedih saat kelak harus mengetahui penyakitku.

Kau tau?? Saat kau menangis, aku sedih, tapi aku juga merasa senang karena aku tau bahwa kau benar mencintaiku. Terima kasih, Rena. Itu adalah tangis terindah bagiku.

Dimas”

Air mataku tak bisa berhenti mengalir saat ku baca surat dari Dimas
“Ayo kita ke rumah sakit!” kataku sambil menggeret tangan Reza.

Kawan, tahukah kau. Rasanya mataku seperti terkena sambal dengan seribu cabai. Tak bisa ku hentikan air mata ini.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju ke ruangan Dimas. Aku melihat Dimas yang tak berdaya di dalam sana, didampingi Bibi Erin yang tak henti-hentinya membacakan ayat suci Al-Qur’an. Aku dan Reza masuk ke ruangan itu secara perlahan-lahan.
“Dimas…” ucapku pelan.
“Rena…” ucap Bibi Erin.
“Bi, bagaimana keadaan Dimas? Kenapa Bibi tidak memberi kabar padaku?” tanyaku.
“Kondisi Dimas semakin memburuk. Tapi Bibi harap ia lebih kuat dari kanker yang bersarang di tubuhnya, Rena. Maaf Bibi tidak memberi kabar kepadamu. Dimas yang melarang Bibi. Dia tak mau kau cemas, Nak” jelas Bibi Erin.
“Dimas memang orang yang sangat baik, Bi Bibi sudah makan?” tanyaku.
“Belum. Bibi tidak sempat makan” jawabnya.
“Bibi makan saja ke kantin rumah sakit. Biar aku dan Reza yang menunggu Dimas, Bi. Bibi harus makan. Jangan sampai Bibi sakit” ucapku.

Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Bibi Erin pergi ke kantin rumah sakit.

Aku berjalan menghampiri Dimas. Aku menangis. Aku benci saat-saat seperti ini. Saat-saat di mana aku harus menjatuhkan air mataku.
“Dimas… ini aku, Rena. Dimas, maafkan aku yang tak pernah mengerti apa yang kau rasakan selama ini. Maaf, Dimas. Maaf…” ucapku lirih.

Air mataku menetes mengenai tangan Dimas yang terkulai lemas.
“Rena… Lihat Dimas! Tangannya bergerak!” kata Reza.

Saat itu juga Bi Erin datang membawa makanan.
“Dimas..” ucap Bi Erin sambil menangis.

Bi Erin berjalan menuju ke arah Dimas.
“Dimas sayang, ini Ibu, Nak…” katanya lagi.

Dimas tak menjawab. Ia hanya melontar senyum pada kami. Aku menangis melihat Dimas.

Tiba-tiba Dimas memegang tanganku dan tangan Reza, lalu menyatukannya. Dan berkata, “Aku lelah. Laa ilaa hailAllah…” ucapnya pelan.

Kami semua menangis. Luapan air mata tak dapat terbendung. Dimas kembali tidur setelah ia menyatukan tanganku dengan tangan Reza. Tapi kali ini, ia tidur untuk selamanya. Meninggalkan kami yang mencintainya.

Dimas telah mengajarkan banyak hal padaku. Dia memang orang yang hebat. Pantas saja aku menyukainya.

Kawan, sejak kepergian Dimas, aku lebih menghargai waktuku, menghargai orang-orang di sekitarku dan lebih menghargai hidupku sendiri.

Kawan, setahun setelah meninggalnya Dimas, aku mulai membuka hatiku untuk pria lain. Dan pria itu adalah kekasih, sahabat, sekaligus kakak untukku. Dan kalian tahu? Dialah Reza.
sumber disini
Read more ...»

di ujung kegagalan

On 0 komentar


Aku dan kamu takkan pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian. Bahagia dan kesediahan selalu berdampingan, begitupun juga tentang harapan dan kekecewaan. Segala perasaan melebur dalam hidup.
Namaku Renata. Aku adalah perempuan berusia 29 tahun. Mungkin konyol untuk menceritakan tentang kisah hidupku karena dalam hidup aku banyak mengalami kegagalan dan kekecewaaan. Tetapi setidaknya mungkin aku bisa berbagi dan beroleh sedikit kelegaan.
Aku mulai mengingat kisah hidupku disaat usiaku 5 tahun. Ketika kecil aku hidup dengan cukup materi dan kasih sayang. Dibesarkan oleh ibu yang begitu kuat bagiku untuk berlindung, ibu yang mampu menjelaskan berbagai hal yang tak mampu aku mengerti, ibu yang memupuk semangat bagiku dan saudara saudaraku untuk bisa menjalani hidup dengan baik.
Ketika aku beranjak remaja, bisa dikatakan aku memiliki banyak pelajaran yang begitu berharga dalam hidupku. Orangtuaku bercerai, perpecahan yang membuat keluarga kami tidak utuh membuat kehidupan kami goyah. Ibuku memilih tinggal di luar kota bersama dengan lelaki baru pilihannya yang dianggapnya mampu membahagiakannya. Sedangkan aku dan kakak kakak ku memilih tinggal di kota yang telah membesarkan kami, Jakarta. Tentunya bersama papa. Usiaku dan saudara-saudaraku tidak terpaut jauh, itu yang membuat apa yang kami rasakan tidaklah jauh berbeda. Tak jarang kami saling menceritakan kekecewaan kami,kami merasa tidak memiliki tempat bersandar yang cukup, kami merasa begitu kesal, dan pastinya sedih. Kerapuhan yang kami rasakan tak pelak juga dirasakan papa. Entah apa yang terjadi, yang aku tahu papaku mengalami kekacauan dalam hidupnya terutama pekerjaannya. Seketika kami mengalami kebangkrutan. Kami terpaksa meninggalkan seluruh kemewahan dan kenyamanan hidup kami. Oleh karenanya juga lambat laun kami merasa tak mampu menerima kenyataan, kedua kakak lelakiku mulai terjerumus dengan kenakalan remaja. Aku bungsu dari empat bersaudara, aku memiliki 2 orang kakak lelaki dan 1 orang kakak perempuan.
Kehidupan terus berjalan, banyak masalah dan cemooh yang menimpa hidup kami. Tak mampu membayar biaya pendidikan, memiliki banyak hutamg, bahkan kami pun kesulitan untuk makan. Tapi Tuhan mungkin mulai mengasihani kami, kakak perempuanku berhasil menjadi seorang model catwalk yang cukup sukses dalam karirnya. Perlahan kehidupan kami pun mulai sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Aku mampu melanjutkan pendidikanku di universitas swasta ternama di Jakarta. Sungguh bahagia rasanya. Kami pun tidak lagi mengalami kekurangan dalam materi, walau tidak berlebih sekali. Melihat semangat dan kegigihan kakakku bekerja, kami semua pun akhirnya memiliki semangat baru. Papa kembali meniti usahanya dan perlahan melupakan kepahitan hidup yang kami alami.
Tak lama berselang, kesedihan menghampiri kami kembali. Kami harus kehilangan bagian dari anggota keluarga kami yang sangat kami kasihi, yaitu salah satu kakak lelakiku. Aku hanya mampu mengingat penderitaan yang telah bersama kami lalui, dan sekarang dia pergi dan tak akan kembali lagi. Papaku begitu terpuruk dengan kepergian kakak lelakiku, begitu juga dengan ibuku. Kami sebagai anak hanya mampu mencoba menguatkan kedua orangtua kami.
Hari demi hari pun berlalu, tahun demi tahun telah dilalui. Aku lulus sebagai seorang sarjana. Kelulusanku ternyata memiliki makna yang cukup besar bagi keluargaku. Aku mampu melihat ada kebanggan yang cukup besar di mata kedua orangtuaku. Mereka menghadiahiku dengan graduation party yang cukup mengharukan bagiku. Beberapa bulan setelah kelulusanku aku memulai karir ku, jatuh bangun tak mampu kuhindari. Pernah aku mengalami hal hal yang tak mengenakan semasa aku bekerja, tapi tak mematahkan semangat kerjaku. Yang selalu ada dalam benakku hanyalah membahagiakan orangtuaku, dan membayar harapan orang orang di sekitarku.
Memiliki karir yang baik tak cukup bagi orangtuaku, mereka menginginkan aku menikahi orang yang telah dekat denganku selama hampir 7 tahun belakangan. Entah apa yang mendorong mereka merestuiku, padahal kami berbeda keyakinan dan seringkali mengalami banyak bentrokan yang tak menguatkan hubunganku dengan hendra, pacarku. Kami pun akhirnya bertunangan, tapi bukannya hubungan kami lebih baik, justru malah semakin banyak kekecewaan yang aku rasakan. Aku banyak sekali mendengar bahwa hendra menjalin hubungan dengan seorang pria demi karir dan uang. Miris rasanya, hal yang sungguh sulit aku percaya. Sebulan sebelum seharusnya kami melangsungkan pernikahan, papa sakit dan akhirnya pergi untuk selamanya. Aku merasa sangat kehilangan, mengingat papalah orang yang menjagaku sebagai ibu setelah perceraian orangtuaku terjadi.
Sepeninggal papa, aku merasa jauh dikecewakan hendra yang seolah tak lagi perduli denganku. Dan aku akhirnya memilih untuk menggagalkan pernikahanku dengan hendra. Aku mencoba membuang rasa malu yang seringkali menghampiriku atas banyak pertanyaan yang datang, aku pun berusaha menepis perasaanku terhadap hendra. Ya, aku ingin melupakannya dan memulai kembali hidupku yang baru.
Perjalanan yang aku lewati setelah kehilangan papaku tak begitu baik, tak jarang aku merasa sangat sedih. Seringkali aku memutar video ulang tahun yang dibuat beberapa bulan sebelum kepergiannya. Setiap hari aku menghabiskan waktu pagiku di gereja, aku merenung dan berdoa. Aku berharap Tuhan memberikan aku kekuatan dan hal hal baru dalam hidup yang lebih menyenangkan.
Kesedihan tak hanya sampai disitu, beberapa bulan kemudian ibu menyusul papa ke surga. Sepertinya Tuhan sungguh mengujiku. Rasanya seperti kehilangan kedua kaki. Bukan hanya itu, aku pun akhirnya mendapatkan sakit psikis, serangan panik. Dalam ilmu kedokteran dikatakan anxiety atau panic attack. Sungguh sangat menggangu kegiatanku, aku tak mampu pergi ke luar rumah sedirian. Seringkali aku dibayangi oleh perasaan buruk yang sulit sekali aku kontrol. Dan aku mulai merasa kehilangan kehidupanku yang normal. Seringkali komunikasi ku dengan orang orang di sekitarku menjadi tidak baik dan hampir tak pernah sepaham. Banyak orang hanya mengagapku tak mandiri dan berlebihan. Aku berusaha tak memikirkan itu semua, yang aku pikirkan hanya bagaimana keluar dari semua ini dan kembali pada karirku yang telah lama aku abaikan. Lalu aku memulai bisnisku sendiri, hanya dengan waktu yang singkat Tuhan memberiku banyak sekali rejeki. Aku juga dipertemukan oleh seorang teman lama yang tiba tiba saja melamarku. Dan aku menerima tawarannya menikahiku. Namun lagi lagi ternyata aku gagal, kami tidak sejalan. Dan sekali lagi aku merasakan kegagalan itu terjadi.
Dalam kesedihanku saat itu, aku berusaha untuk tetap berdiri tegak dan menjalani hari hariku seperti biasa. Yang kulakukan hanyalah bekerja dan mengembangkan usahaku. Entah kenapa disaat yang tidak tepat aku berselisih paham dengan kakak perempuanku hingga akhirnya aku pun memilih keluar dari kota Jakarta.
Hari hariku dalam pelarianku tak begitu baik. Aku merasa asing dan sangat merindukan keluargaku. Tapi aku hanya bisa berdoa dan terus berusaha hidup lebih baik. Aku pun menjalin hubungan dengan seseorang yang aku anggap cukup baik. Kurang lebih 6 bulan aku di kota pelarianku, bandung. Aku kembali ke Jakarta, bermaksud untuk memohon ijin menikah. Tapi bukan restu yang akhirnya aku dapatkan, melainkan putusnya hubunganku dengan lelaki tersebut. Dan aku hanya bisa berkata, dia bukan jodohku.
Itulah kegagalan demi kegagalan yang pernah aku lewati, kekecewaan datang ketika kenyataan tak sesuai harapan. Tapi mungkin begitulah cara Tuhan mengajarkan aku untuk menguatkan imanku kepadanya. Tuhan memberiku kegagalan dan kekecewaan untuk menggantikannya dengan keberhasilan dan kebahagiaan kelak.
Suatu siang aku mampir ke sebuah café di salah satu mall besar di kota Jakarta ini. Ada seorang pria duduk tak jauh dariku mengamatiku dengan seksama. Aku mengamatinya juga sesaat, laki laki itu tampak pintar dan berkelas. Sejam telah berlalu, dia masih terus memperhatikanku. Karena merasa tak nyaman, aku memutuskan untuk beranjak pergi.
“Boleh saya kenal kamu?”, pria itu tiba tiba saja berdiri di hadapanku
Namanya Reno, dia bekerja di salah satu perusahaan swasta. Dia bilang aku mirip dengan teman lamanya, itu sebabnya dia memperhatikan aku sejak aku datang di café itu. Kami berbicara sekitar 30 menit, dan sebelum berpisah kami saling bertukar nomor telpon.
Beberapa hari kemudian, reno menelponku. Dia berada di Australia untuk pekerjaannya, dia mengatakan padaku bahwa akan kembali ke Jakarta beberapa hari ke depan dan mengajakku untuk makan malam.
Suatu pagi seseorang datang ke rumahku dan mengantarkan buquet bunga yang sangat cantik. Ada sebuah tulisan dalam secaik kertas yang menempel disana “selamat pagi”, hanya itu.
Aneh rasanya, aku tidak tahu siapa pengirimnya.
Malam kencanku bersama reno.. bisa dibilang sangat wow.
Reno ternyata sangat baik dan humoris. Dia juga sangat romantis. Aku mulai takut untuk jatuh cinta padanya.
“Ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu”, ujar reno
“siapa?”, tanyaku
“aku akan memberitahukannya kalau kamu terima lamaranku kelak”
“Maaf, kita baru saja dekat. Aneh rasanya berbicara terlalu jauh”
“Aku tahu kita baru saja kenal, tapi aku sangat tahu banyak tentang kamu. Aku tahu kamu ragu denganku”
Malam itu terasa begitu cepat berlalu. Reno sebenarnya sangat memikat hatiku. Tapi aku tak mau banyak berharap. Seperti batu yang ditetesi air, aku mulai luluh dengan perasaanku pada reno. Aku pun berpacaran dengan reno. Kami melalui hari hari dengan bahagia, reno cukup perhatian dan penyayang. Reno membangkitkan semangatku. Dia memintaku untuk sekolah designer. Entah kenapa dia sangat tahu aku sangat ingin sekolah mode sejak lama, itu cita-cita ku sejak kecil. Dia juga memintaku untuk membuat bisnis butik dan bersedia menjadi investor. Aku sangat bahagia, tapi juga sangat takut. Aku takut kehilangan kebahagiaanku bersama reno. Aku takut menemui kegagalan lagi.
Sudah setahun berlalu, kami masih berpacaran. Walau reno seringkali berada di luar kota sangat tak membuat persoalan bagiku dan dia. Semakin hari aku semakin menyayanginya. Hari ini reno baru saja kembali dari luar kota, dia mengajakku nonton film di bioskop. Kami pun memasuki ruangan studio tempat ditayangkannya film. Kami duduk di bagian tengah. Reno tampak sangat berbeda malam itu, dia tak banyak bicara. Ruang studio saat itu bisa dibilang cukup memiliki banyak penonton, ya tentu saja karena film yang diputar ini mungkin ceritanya cukup bagus.
Lampu studio mulai dimatikan, reno meminta ijin untuk ke toilet. Beberapa iklan muncul di layar, dan aku bersiap memasang mata dan telinga untuk menonton film itu. Namun betapa terkejutnya aku, di layar itu muncul clip foto- foto ku. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, semua orang menikmati tayangan itu.
“Hai sayang, aku sudah lama memperhatikanmu. Bukan sejak kita bertemu di café itu. Tapi sejak kamu masih sangat kecil. Kamu mungkin lupa, atau bahkan tak bisa mengingat apapun. Tapi aku masih ingat kamu dulu sering datang ke rumah sepupuku bermain boneka bersama adik sepupuku, fika. Aku ingat kamu begitu lucu bercerita, kamu begitu menarik perhatianku. Aku seringkali datang ke rumah itu hanya untuk melihatmu. Ketika itu kamu kelas 2 SD, dan aku kelas 6 SD. Aku tak pernah datang lagi ke rumah fika karena kami harus pindah keluar kota.
2 tahun lalu aku bercerai dengan istriku. Dan aku memutuskan untuk pindah ke Singapore. Lalu fika datang mengunjungiku dan fabia, anakku. Saat melihat fabia bermain boneka dengan fika. Aku teringat kamu, renata. Aku menanyakanmu kepada fika. Karena penasaran aku mencari tahu tentang kamu. Fika sangat membantuku, oleh karenanya aku tahu banyak hal tentang kamu. Aku tahu kamu sangat takut memutuskan mengenai pernikahan, apalagi usia pacaran dan waktu yang menurut kamu terlalu cepat untuk berbicara pernikahan. Kamu takut aku bukan orang yang tepat, kamu takut gagal. Aku pernah menikah dan gagal. Tapi aku tak takut mencoba untuk bersamamu renata. Aku ingin kamu menikah denganku dan menjadi ibu bagi fabia”, lantunan instrument terdengar sayup sayup. Aku tertegun dan hanya mampu terdiam, sementara aku tak tahu harus berbuat apa. Reno tampak berjalan menyusuri anak tangga bersama dengan putri kecil, mungkin itu fabia. Mereka menghampiriku, aku semakin tegang. Sementara semua orang menatap ke arahku. Aku segera berdiri dan beranjak dari tempat duduk. Aku berusaha menghampiri mereka. Ketika kami saling berhadapan aku tak mampu mengucapkan kata-kata. Aku hanya memeluknya dan tersenyum bahagia. Seketika aku mendengar riuh ramai menanyanyikan lagu happy birthday.. dan sebuah cake besar muncul di depan layar.
“selamat ulang tahun sayang”, reno mencium keningku
Lampu mendadak menyala saat itu dan kulihat banyak orang yang ternyata aku kenali. Teman, sahabat dan keluarga tampak berada di studio itu. Aku sangat bahagia. Kami merayakan ulang tahunku dan acara tukar cincin di studio itu.
“Aku sudah menyiapkan segalanya, kita akan menikah dan berbulan madu di paris. Seperti yang kamu inginkan”
Akhirnya aku menemukan kebahagiaanku. Dan aku menyadari bahwa kegagalan tak pernah selamanya. Keberhasilan dan kebahagiaan akan datang menghampiri. Tuhan memberikannya ketika tepat pada waktunya.
http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/di-ujung-kegagalanku.html
Read more ...»

Love In Boston

On 0 komentar


Aku dilanda sebuah rasa yang hadirnya karena cinta, rasa yang hampir menyerap seluruh sumber air di mataku. Namanya Rindu. Ketika aku tak bisa memilih kepada siapa aku harus merindu, dan kapan waktunya aku akan berhenti mengecap rasa itu.
Kakiku terus berlari meski pijakannya mulai merapuh hingga tak sekuat kemarin. Sebagai seorang atletik aku dituntut untuk selalu berkembang di setiap kompetisi, namun sekarang aku tak lagi berambisi sebagai juara, aku hanya lari karena aku ingin melakukannya.
Boston, senin 15 April 2013
Dimulai sebuah perayaan tahunan Boston Marathon di Ibukota Massachusets, As. Kami bak sepasang burung yang terbang bebas memecah malam, bersama menghitung bintang-bintang hingga sayap kami tak mampu lagi terbentang. Dan hari ini kami sepasang kijang yang akan berlari di atas tanah yang sama. Aku ingin menghadiahkan trofi boston marathon untuk gadis bernama kinaya itu. Aku ingin bilang padanya. Terima kasih atas lima tahun yang telah kau berikan, kinaya.
Sebelum meninggalkan garis start aku sempat mencium keningnya. semalam kami juga sempat melakukan perayaan kecil. kami melepaskan ratusan balon berbentuk hati ke udara… ’Kay, aku akan pergi ketika aku merasa sangat bahagia’. Desah kinaya malam itu, aku pikir hanya lelucon, gadis itu memang tak pandai membuat lelucon. Namun, kalimat sederhana itu malah membuatku terjaga dari tidurku semalam.
Jika aku tahu siang itu menjadi detik terakhirnya, akan kuhentikan waktu agar siang tak cepat berlalu. Bom Boston telah merenggut separuh hidupku. Dia sekarat sedangkan aku hanya bisa berharap hari ini adalah sisa mimpi buruk dari tidurku semalam, namun jika mimpi, kenapa terasa seperih ini…?. Tubuhnya dipenuhi darah yang terus mengucur hampir di seluruh organ tubuhnya hingga wanita itu melepaskan nafas terakhirnya.
Jakarta, kamis 30 mei 2013
“kay, kinaya pasti bangga atas kemenangan loe hari ini” ujar salah seorang kawan sekaligus rivalku dalam kompetisi kali ini. Namun, aku tak lagi menemukan kebanggaan dalam kemenanganku, yang aku tahu, airmata ini tak terbendung lagi ketika langkahku berhasil menyentuh garis finish. Dari 27 ribu orang kenapa harus gadis itu…?. mungkin Tuhan juga sudah mulai jenuh mendengar pertanyaan yang tak ada bedanya.
“kamu yakin yas ini pilihan terbaikmu?” tanya ibu dengan wajah sendu melepas kepergianku
“kalau kay ingin sembuh kay harus pergi ke tempat di mana kay hancur, bu” kataku memberikan pengertian.
“kalau itu mau kamu, pergilah dan kembali jadi kayaza yang kuat”
“maaf bu…” desahku sambil menjatuhkan tubuhku ke dalam pelukannya.
“jangan meminta maaf, yas. karena cinta tak pernah salah” jawab wanita separuh baya itu seraya membalas pelukanku.
Boston, senin 3 juni 2013
Aku telah kembali ke tempat di mana kau telah membawa sebagian nafasku, kinaya, memulai hidup baru dengan bayangmu. Jika aku tak diijinkan memiliki ragamu maka ijinkanlah aku memiliki bayangmu.
Pagi ini Boston masih terasa sendu. Aku berjalan menyelusuri tepian kota itu. Mengulang kembali rekaman yang terpasang di otakku, sebuah memori yang tak akan pernah terhapus dari benakku. Puluhan orang terluka, ribuan mata berduka, jutaan cinta tertunda.
Boston, rabu 5 juni 2013
Hari pertama memulai status sebagai mahasiswa di Boston University. aku tak ingin lagi berlari, karena sesuatu yang kukejar sudah pergi terlalu jauh. Aku hanya akan hidup dengan normal, makan dengan baik dan tidur dengan nyenyak hingga aku kembali hidup, bukan sekedar hidup, tapi benar-benar hidup.
Aku tetap berjalan meskipun dikejar deadline. Aku hanya ingin hidup dengan sederhana, ketika semua orang berlari mendahuluiku aku akan tetap berjalan.
DUAGGG…!!
“Aww…” Pekik seorang gadis bermata coklat setelah menabrak trotoar dengan scooternya
“are you okay…?” tanyaku membantunya berdiri.
“yeahh, I’m okay” jawabnya meski mimiknya tak baik-baik saja.
Apes banget gue pagi ini. Gerutu gadis itu dengan bahasa indonesia yang fasih.
“gue juga apes pagi ini” ujarku sambil berjalan membelakanginya.
“hei… setelah lima tahun gue nunggu di sini, loe orang itu” ungkapnya entah ditujukan pada siapa.
“hi, aku Miley…” lanjutnya menjadi seribu kali lebih bersemangat.
“oohh, aku kay…” kataku meneruskan langkah yang sempat tertunda.
“kay, gue ralat… ternyata, ini hari terbaik gue” pekiknya terdengar sedikit berlebihan untuk seseorang yang baru dikenalnya
Usai kelas berakhir aku bergegas untuk menemui seorang teman berkewarganegaraan Spain. Aku sengaja mempercepat langkahku setelah sadar ada seseorang yang membuntutiku sejak dari kelas tadi.
“hei you…” pekikku membalikan tubuh secara tiba-tiba. Seorang gadis di belakangku belum sempat menyembunyikan wajahnya ketika aku terlanjur famiiliar dengan wajah yang tak asing itu.
“heehe, gue kangen,” katanya dengan wajah memerah.
“sama gue?” celetukku spontan
“not you, but indonesia… sayang gue nggak punya wajah indonesia”
“nasionalisme itu bukan tentang wajah, tapi tentang darah” ujarku tanpa ekspresi.
“hei kay, mil…” sapa seseorang dengan rambut pirang dan tubuh jangkung.
“jake..?, kalian saling kenal”
“sorry gue buru-buru jake, bye” pamitku pada orang Boston itu sambil berjalan menjauhinya.
“Jake..?” ulang miley masih penasaran.
“okay.. we are best friend” ujar jake langsung mengerti isyarat yang diberikan miley.
“selalu ada jalan menuju Roma” kata miley dengan ide-ide ajaib di kepalanya.
Boston, minggu 1 september 2013
Kinaya ke mana aku harus pergi ketika aku mulai merindukanmu dan kepada siapa aku harus tersenyum ketika aku bahagia nanti. Like today, aku benar-benar terbebas dari jeratan mata kuliah yang menjenuhkan. Dari lantai empat lima apartemen aku siap menembus keterbatasan yang menghambat langkahku. Di area copley square aku menggunakan waktu senggangku untuk tidur siang sebelum suara bising sekelompok anak mengganggu tidurku.
“Wee…move..!!, dont disturb my freeday, just leave from here” kataku mengusir sekerumunan anak boston itu.
“whats wrong…?” tanyaku pada seorang anak yang masih tak bergeming.
“hem, nothing”
“Anak aneh…” celetukku berbahasa.
“makasih kak” timpalnya membuatku tertegun dengan kalimat bahasa indonesianya.
“Heii… mau jadi tour guide gue?,” pintaku padanya. Raut wajah anak itu tampak hambar tak berselera. Namun dugaanku meleset, dia ahlinya tersenyum,
“sepakat” ujarnya mengejutkanku.
Siang ini dimulai dari beberapa tempat bersejarah di Boston. Anak itu tampak fasih menjelaskan seluk beluk boston. Ia tak kelihatan seperti orang indonesia, wajahnya pun melebur seperti penduduk asli boston, hanya warna bola matanya saja yang menunjukan kebanyakan orang timur. Sambil menikmati hot dog aku masih penasaran apa yang membuat anak itu harus berjalan dengan kaki kayu hingga tanpa sadar aku terus mengusiknya.
“hemm… mereka ngejek aku karena kaki kayu ini, kak” tuturnya tiba-tiba membuatku tak enak hati.” bom boston lima bulan yang lalu, maybe God loves me, makanya aku berbeda” kali ini giliran aku yang tertegun, sekejab wajah kinaya kembali memenuhi pikiranku.
“mimpi kamu..?”
“aku dikeluarkan dari sekolah atletikku, kak. Mereka bilang, mana ada atlet lari dengan kaki kayu”
“Kamu mau lari lagi..?”
“satu kaki pun aku masih bisa berlari, karena berhenti bermimpi itu bukan pilihan, iya kan kak..?”
kalimat terakhirnya hampir membuatku tersedak. Aku tak mengerti anak usia lima belas dapat memandang sisi hidupnya dari arah yang baik. Tuhan mengirimkan anak itu tepat waktu. Aku mulai menyukainya, dan dimulai dari sore itu kami sering menghabiskan waktu bersama untuk sekedar makan hot dog pinggir jalan atau berbagi cerita bersama, termasuk tentang kinaya dan mimpiku yang tertunda.
“will… aku janji, walaupun bukan hari ini, aku pasti akan lari”
“harus, aku mau lihat kakak di arena yang sesungguhnya, promise..?”
“I promise, will..” janjiku tak berniat mengecewakannya.
Boston, selasa 1 oktober 2013
Hari ini tanpa will, aku sedang menghitung langkahku di trotoar sekaligus menghitung hari-hari yang kulewati tanpa kinaya. Lama-lama bayangnya mulai kabur, aku pun tak sering lagi menjumpainya di alam mimpiku. Mungkin lukaku mulai mengering, meski tak kan bisa hilang bekasnya. Sampai pada langkah ke sembilan puluh sembilan sebuah bayangan meneduhkan langkah ke seratusku. Sudah beberapa bulan aku mulai terbiasa dengan sikap kekanak-kanakannya. Tetapi kali ini wajah pengganggunya seperti ia sembunyikan sementara mata coklatnya semakin dalam menatapku.
“kay, ayo kita lari berdua..!!”
“seharusnya kamu meminta yang lain, mil. karena aku nggak akan bisa mengabulkan permintaan yang satu itu”
“nggak adil..!!, kenapa seseorang yang sangat ingin berlari dia ngga memiliki kesempatan, sedangkan seseorang yang memiliki kesempatan dia malah berhenti berlari”
“loe lagi marahin gue..?” tanyaku tak mengerti.
“hemm, ini salah gue..” ujarnya pergi dengan mata lembab. Kali ini bukan dia yang mengejarku, tapi aku yang tak mengijinkannya pergi.
“hei.. mau cerita..?” kataku menarik lengannya untuk duduk di sampingku. Suasana canggung sejenak, belum ada yang mulai bicara hanya ada suara beberapa burung di atas pohon yang kami jadikan tempat berteduh.
“ada berjuta juta orang yang menginginkan kaki sepertimu, kay. Tapi, kenapa loe malah berhenti bermimpi?”
“nggak semua pertanyaan harus ada jawabannya, mil..” ujarku padanya. Miley tak bereaksi. Hanya ada derungan kendaraan yang melalu lalang di jalanan. Miley menghapus airmatanya, lalu berlari meninggalkanku. Lampu penyeberangan belum menunjukan jalan, tetapi miley melenggang saja memotong jalan yang siang itu tampak padat. Suara decitan rem dan klakson mulai saling menyaut, situasinya semrawut dan untuk pertama kalinya ada orang yang membuatku harus berlari mengejarnya setelah kinaya.
“kamu lari kay…”
“bodoh… kenapa lo selalu bikin gue marah?” kataku setelah berlarian menggandengnya ke tepian jalan.
“kay, bisakah aku menjadi alasanmu”
“maaf mil, sesuatu yang aku kejar udah sampai finishnya”
“apa cinta juga nggak bisa jadi alasan..?”
“gue takut memiliki karena gue nggak mau kehilangan lagi mil”
“aku berharap bertemu kamu sebelum kinaya” katanya membuatku hampir tersentuh. Tatapan itu membuatku seolah menjadi orang yang paling kejam. Membuat seorang wanita menangis sama saja aku ini pengecut.
“kalau memang nggak bisa, aku akan berhenti kay sebelum aku terlalu jauh” katanya seperti orang yang putus asa. Kepergiannya malam itu seperti tak akan kembali lagi.. tapi bukankah itu yang aku inginkan…?, kenapa aku jadi tak konsisten semenjak pertemuanku dengannya.
Waktu semakin bergulir, hanya sesekali aku melihat miley lewat di depanku. Tatapannya asing. Ia benar-benar menepati ucapannya. Tapi kenapa di saat ia memutuskan untuk berhenti aku malah baru memulai gejolak di hatiku. Aku takut ketika harus memulai kembali, takut bertemu dengan rasa yang sama seperti rasa yang telah kau tinggalkan, kinaya.
“whats u up, man” tegur jake mengagetkanku.
“dari mana loe, jake?”
“Airport… miley kan hari ini terbang ke timur tengah”
“apa..?” ungkapku terkejut “dia benar-benar berhenti” desahku sembari mengambil langkah yang seharusnya sudah aku lakukan jauh hari.
Waktuku tinggal sepuluh menit lagi sebelum udara membawanya pergi dan mungkin tak kan kembali. Aku berlari… ya mungkin itu yang sedang aku lakukan karena aku bahkan lupa bagaimana rasanya berlari.
Bola mataku mengitari setiap sudut bandara, hingga suara langkah kaki yang sangat khas di telingaku semakin terdengar menonjol.
“will..?” kataku sambil mengatur nafas yang terengah engah sementara mulutku ternganga melihat tour guide kecil itu berdiri di hadapanku, di samping bocah itu seorang wanita mendongak tak kalah terkejutnya denganku,
“kay…” desahnya sambil mendikte kaki hingga ujung kepalaku. Kini aku mulai mengerti mengapa miley ingin melihatku menjadi kijang di tengah arena.
“berhenti berlari itu bukan pilihan, iya kan will?” kataku mengulangi ucapan wiley tempo hari.
“Iya, kak. Secepat kijang yang tak terkalahkan”
Boston, 15 april 2014
Aku menggenggam erat telapak tangannya yang lembut. Hari itu wiley berperan sebagai pemandu sorak kami, aku dan miley dalam perayaan Boston Marathon. Miley membuatku memiliki alasan untuk berlari. Dan aku tak harus takut kehilangannya, karena aku tak kan membiarkan cinta pergi untuk kedua kalinya, kalaupun pergi ia harus kembali. Cinta dan impian membuatku hidup, benar-benar hidup. Aku tak kan berhenti berlari sebelum aku benar-benar tak sanggup lagi berdiri. Berlari mengejar asa, tanpa takut akan terjatuh lagi, karena ada cinta yang akan membantuku bangkit ketika aku terjatuh nanti.
Kinaya maafkan aku telah memilih cinta yang lain. Percayalah ketika aku bahagia nanti aku akan tersenyum padamu karena kau pernah menjadi bagian dari kebahagiaan itu.
“miley, will you marry me?” ungkapku tanpa ragu ketika kaki kami berdiri di atas garis finish, garis yang pernah melenyapkan selera hidupku. Kini di atas garis itu pula Tuhan kirimkan cinta untuk mengganti miliaran airmata yang telah terjatuh dari kelopak mataku. Karena setiap satu butir airmata yang kita jatuhkan ada rahasia Tuhan yang tak satupun malaikat tahu.
sumber disini
Read more ...»

Maafkan aku ayah

On 0 komentar



Semua berawal ketika aku masuk lingkungan serba mewah. Aku masuk di sebuah SMK yang bisa di bilang itu adalah SMK termahal yang ada di daerahku. SMK N 1 Saptosari. Bisa di bilang aku ini adalah siswi yang sangat berprestasi. Aku juga termasuk anak yang berbakti dengan kedua orangtuaku.
Tapi itu dulu…
Sejak Ibuku pergi, aku hanya tinggal seatap dengan ayahku. Mungkin kini bisa di bilang rumahku tak layak huni. Hidup yang serba kecukupan ini membuatku bosan dan sangat menyesal. Kenapa ayah bangkrut? Kenapa ibuku meninggal? Kenapa kakakku tega meninggalkan aku di hidup yang susah ini? Dan kenapa aku ditakdirkan seperti ini.
Kini usiaku 16 tahun. 2 minggu lagi aku akan genap menjadi 17 tahun. Tepat di hari valentine. 14 februari. Hari yang sering anak muda katakan sebagai hari kasih sayang. Tapi menurutku hari itu akan sama saja. Pikirku, hari itu akan menjadi hari yang kubenci. Karena aku bukan orang yang kaya lagi. Untuk beli pulsa saja aku susah. Harus mengumpulkan uang sakuku selama 3 hari. Sering sekali aku marah dengan ayahku. Aku merasa dia tak becus mencari nafkah untuk anaknya. Hampir setiap kali aku pulang, ingin sekali kata-kata kasar yang keluar dari mulutku untuknya. Entahlah..
“Tapi bapak tidak punya uang nak untuk membelikan baju dan sepatu baru untuk kado ulang tahunmu. Kaki bapak sangat lelaaah sekali. Tolong maafkan bapak.” Ujarnya seraya memasang wajah penuh letih di depanku. Beda sekali antara aku yang sekarang dengan aku yang dulu. Aku yang sekarang semakin berani dengan ayahku. Yang sudah jelas bahwa ia adalah satu-satunya orangtuaku yang masih hidup. Ayahku memang sudah sakit-sakitan. Semenjak ia jatuh miskin 3 tahun yang lalu, ia terkena stroke. Sebenarnya keadaannya kini sudah membaik, hanya saja tangan dan bibir ayahku masih belum bisa untuk kembali ke semula. Di tambah dengan batuk yang ia alami.
“Anna malu, pak. Anna malu sama teman-teman Anna. Mereka mengejekku. Lihatlah! Sepatuku sudah sangat sangat begitu tua.” Ucapku seraya melempar sepasang sepatu yang baru saja kulepas dari kakiku. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dariku. Aku begitu santai melempar sepatu ini di depan wajahnya. Ku lihat wajahnya nampak sedikit sedih. “Ya tuhan, Anna. Bapak ini ayahmu nak. Kenapa kau seperti ini sekarang? Apa kau malu punya bapak yang cacat sepertiku?”
“Ya. Bahkan aku sangat sangat malu mempunyai ayah yang cacat sepertimu. Aku malu pak, setiap kali bapak memunguti sampah di sekolahku. Bapak tahu? Teman-temanku selalu mengejekku. Bukan hanya karena sepatuku. Tapi karena bapak tidak normal seperti bapak teman-temanku.”
“Tapi bagaimana bapak akan bekerja? Kalau kau malu jika bapak mencari sampah di tempat kau mencari ilmu.”
“Bapak kan bisa mencarinya di tempat lain. Sudahlah! Anna bosan di rumah. Anna mau main. Anna nggak mau tahu. Di ulang tahunku nanti, harus ada baju dan sepatu baru di depanku!” aku membuang muka dari hadapan ayahku. Pergi dari rumah dengan masih mengenakan seragam sekolahku. Aku sangat suntuk.
Kujalankan tubuhku yang suntuk ini mengelilingi jalan. Setiap kali ada botol di depanku, selalu ku jadikan bahan pelarian rasa marahku. Aku menendangnya hingga botol-botol itu melenting jauh. Dengan pandangan penuh penyesalan aku langkahkan kaki ini terus entah kemana. Yang jelas aku tak akan pulang.

Senangnya hatiku ketika aku dapat bergabung dengan teman-temanku tanpa terganggu akan adanya ayah di sekolahku. Tapi jujur, sekian hari aku kadang mencari-cari keberadaannya. Baguslah, ternyata ia menuruti mauku. Jam kosong yang biasanya diisi dengan beberapa tugas menyebalkan, kini benar-benar menjadi jam kosong. Tidak ada pelajaran yang membuatku berkeringat karena bosan.
Sepulang sekolah, aku tak langsung pulang. Aku diajak teman-temanku untuk pergi makan dan belanja layaknya orang-orang kaya. Hari itu aku harusnya merasa senang dan puas dengan adanya teman-temanku dan tidak adanya ayahku. Tapi aku justru merasa malu. Ayahku ternyata ada di sana. Di saat aku tengah asyik berfoto ria dengan teman-temanku, ayahku menghampiriku sembari menyebut namaku. Malu. Aku sangat malu.
“Dia siapa Na? Kok penampilannya menjijikan seperti itu. Tangannya bengkong bibirnya miring lagi. Ih..” salah satu temanku berkomentar tentang ayahku. Sebenarnya aku sedikit tidak terima, tapi rasa maluku menutupi semuanya.
“Aku tidak mengenalnya. Oh, mungkin dia pengemis. Lihat saja penampilannya. Sebentar, biar aku kasih dia uang. Setelah itu dia pasti pergi. Seperti pengemis-pengemis lainnya. Ok.” Ucapku lalu menghampiri ayahku dengan langkah cepat. Benar-benar memalukan. Mau ku taruh di mana mukaku kalau mereka tahu dia adalah ayahku.
“Anna.. kau ada acara apa nak di sini? Kenapa kemarin kau tak pulang?” Ayah menyapaku. Dari pertanyaannya terlihat kalau ia menghawatirkanku. Tapi entahlah.. aku sama sekali tak merasa kasihan dengan ayahku. Aku benar-benar tidak ingat saat ayah dan aku begitu akur. Aku juga tidak pernah sadar akan perlakuanku yang sangat tidak baik di tiru ini. “Pak, bapak ngapain di sini? Cepat pergi. Aku tak mau teman-temanku tahu kalau bapak itu ayahku. Mereka anak-anak orang kaya. Cepat pergi! Aku tak ingin melihatmu di sini.”
TAARRRR…! kata-kata petir ini keluar begitu saja dari mulutku. Tanpa pikir panjang aku langsung mengucapkannya. Sebelum ayahku pergi dari hadapanku, sesekali aku melihat ke belakang ke arah teman-temanku. Mereka ternyata masih melihatku. Dengan wajah yang getir, ayah memutar tubuhnya membelakangiku. Sempat kulihat kalau ia ingin berbicara sebelumnya, tapi karena aku sudah menyuruhnya pergi, ia tak sempat mengatakan apa yang ingin ia katakan sebelumnya. Dengan langkah yang bisa dihitung, ku lihat ayahku pergi dari hadapanku. Sebenarnya aku sedih, tapi rasa ingin bersama teman-temanku ini ternyata lebih besar daripada rasaku untuk bersikap ramah dengan ayahku.
Kulihat ayahku sudah begitu jauh dariku. Bayangannya yang gontai sudah tak terlihat lagi dari pandanganku. Aku lega. Tapi sungguh. Rasa lega ini tak sampai ke hatiku. Aku memutar balik tubuhku ke arah teman-temanku. Dengan memasang senyum ini untuk mereka, aku berlarian kecil ke arah mereka. Selesai bukan? Itulah kata-kata yang ku lontarkan ketika aku sudah sampai di dekat teman-temanku. Kembali ke posisi semula. Aku dan teman-temanku kembali meneruskan tawa. Tanpa memikirkan ayahku lagi…

Hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku kesal sekali. Kenapa tak ada baju dan sepatu baru? Lalu apa spesialnya hari ulang tahunku ini? Ah sial.. kulihat, tak ada makanan juga di rumah. Apa-apaan ini? Aku fikir, ayahku memang ingin aku mati kelaparan. Aku mencari ayahku. Kulihat ia sedang menyemir sepatu bekas yang ia peroleh dari memulung berhari-hari. Kurebut sepatu bekas yang di genggamnya. Lalu dengan kasar kudorong pundak ayahku. Ya tuhan…
“Mana baju dan sepatu baruku? Hari ini ulang tahunku. Kenapa kau tak juga membelikanku sepatu dan baju baru? Hah? Tidak ada makanan pula di rumah. Kau ingin aku mati kelaparan? ya?” aku lontarkan begitu saja kata-kata ini di hadapannya. Kulemparkan sepatu bekas itu ke muka ayahku. Kalau saja itu aku, aku pasti merasa sakit. Bahkan sangat sakit. Karena lemparan dari tanganku begitu kuat.
Aku lari dari hadapan ayahku. Ayahku yang masih terdiam sangat kecewa denganku. Sebenarnya aku tidak berlari jauh. Melainkan aku hanya memutari jalan tikus yang sampai akhirnya menuju belakang rumahku. Selama aku berlari dengan amarahku, otakku dihantui dengan lemparan sepatu bekas itu ke muka ayahku. Aku merasa bersalah. Aku berlari menuju rumah kembali, namun kali ini aku tepat berada di belakang rumah dan menatap ayahku yang kini berada dekat di depanku.
Kulihat ia merangkak mengambil pasangan sepatu yang beberapa menit lalu kulemparkan ke wajahnya. Ia mulai menyemir kembali sepatu bekasnya. Ia terlihat senang dengan sepatu bekas miliknya.
“Ya tuhan, aku memang bukan ayah yang baik untuk anakku. Aku cacat. Aku miskin. Sungguh, aku hanya bisa membuat anakku malu. Anakku Anna, kau dimana nak? Kenapa kau sama sekali tak mau menemui ayahmu ini? Kalaupun ada pilihan lain, sejujurnya bapak tak ingin nak, menjadi ayah yang buruk untuk anakku. Maaf nak, aku tak punya cukup uang untuk membelikanmu barang yang baru.” Kata-kata itu mampu membungkam mulutku. Tak terasa air mataku menetes. Aku mengingat betapa ayahku sangat menyayangiku. Ketika dulu aku sering berangkat berdampingan dengannya. Jika ayahku tak memakai alas kaki, aku pun tak memakai sepatu. Agar aku bisa merasakan sakitnya kulitku menginjak kerikil-kerikil nakal di bawahku. Aku mengingat ketika ayahku mengajakku bercanda. Ketika ayahku bercerita betapa hebatnya ibuku yang kini telah tiada. Dan aku mengingat ketika aku sampai di ambang halaman sekolahku, aku mencium tangannya. Ku lihat ia begitu memberikan harapan yang besar untukku. Sampai aku masuk ke kelasku, ia selalu mengantar kepergianku. Tuhan… aku durhaka. Betapa bodohnya aku selama ini. Aku tega sekali dengannya. Tidak sepantasnya perlakuan ini aku tunjukkan untuk ayahku.
Dengan masih membungkam mulutku, aku kini mulai duduk tak berdaya. Ternyata senakal apapun aku padanya, ia tetap menyayangiku. Ia tetap memaafkanku. Kudengar ia mulai berkata kembali. Namun kali ini, aku tak berani menatapnya. Aku sama sekali tak berani menatapnya. “Baiklah nak, demi kamu. Demi kamu bapak akan pergi mencari baju dan sepatu baru untuk mu. Semoga nanti kau menyukainya, nak.”
Setelah ayahku beranjak pergi, aku pun mulai berdiri. Kuikuti ayahku dari belakang. Benar-benar tidak pernah kubayangkan sebelumnya kalau ayahku seperti ini. Begitu gigih semangatnya untuk mencari uang hanya untuk membiayaiku. Aku juga tak pernah berfikir kalau di sepanjang jalan, ayahku sering terjatuh. Aku melihat ia begitu lelah. Namun aku hanya mengikutinya dari jauh. Selalu saja ayah jatuh, tapi ia tetap bangun dengan senyumannya.
Ia memunguti sampah-sampah warga. Tidak mudah. Karena tidak semua warga suka dengan keberadaan ayahku. Banyak warga yang memaki ayahku. Aku sebenarnya sangat kasihan dengannya. Tapi, aku belum juga menghampirinya. Ketika ia mulai berjalan kembali, aku pun mengikutinya lagi.
Di sebuah toko besar, ayahku berhenti. Entahlah ada apa di toko besar itu. Kulihat sekitarnya, tak banyak sampah yang ada di sana. Lalu apa yang ayahku cari? Kudekati ia, lalu kutangkap arah pandangannya. Sepatu! Ya, sepertinya itu yang ayahku lihat. Tapi apakah ia punya cukup uang untuk membelikanku sepatu sebagus itu? Selain bentuknya yang bagus, sepatu itu pasti mahal. Ingin sekali aku berteriak, ingin kucegah ayah agar ia tak membeli sepatu itu. Namun, aku malu dengannya. Selama ini aku sudah memakinya, aku malu untuk berbicara halus dengannya.
Kulihat ayahku mendekat ke arah sepatu itu. Kututup mukaku. Aku tak berani melihat ekspresi wajah ayahku ketika ia melihat harga sepatu itu. Aku tak mau melihat langsung ayahku sedih. Tak lama kemudian, aku mendengar suara gemuruh di depanku. Kubuka mataku untuk melihatnya. Ada beberapa orang yang memukul salah seorang di bawahnya. Aku panik. Pikiranku kacau. Jangan-jangan itu ayah. Mungkin ayah tidak punya cukup uang untuk membeli sepatu itu, lalu ia berupaya untuk mencurinya. Dan… oh tidak! Apa yang ku pikirkan? Ayahku tak mungkin melakukan itu. Kucoba dekati mereka perlahan. Kucoba bertanya pada salah seorang dari mereka. “Maaf, pak. Ada apa ya?”
“Oh, itu mbak. Pengemis tidak tahu diri yang mencoba mencuri sepatu di toko itu.”
Hah??? Apa itu ayahku? Tepat sekali dengan yang kupikirkan sebelumnya. Aku yang makin tak karuan, kucoba masuk di antara kerumunan orang itu. Namun serasa ada yang mencegahku dari belakangku. Siapa orang ini? Aku mundur ke belakang, lalu menoleh ke arah orang ini.
“Bapak,” aku berucap histeris. Langsung saja aku memeluknya. Tak ada lagi rasa malu di diriku. Ia memang ayahku. Kenapa aku malu? Harusnya aku akan malu kalau aku hidup sendiri tanpa keluarga. Kulihat ayahku begitu bingung dengan aku yang tiba-tiba memeluknya. Kalau aku jadi ayah, aku juga pasti bingung. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, selama ini aku selalu marah bahkan sering memukulnya. Tiba-tiba memeluknya seperti ini.
“Bapak, maafin aku pak.” Ucapku sembari mengendorkan pelukanku.
“Yang harusnya minta maaf itu bapak, nak. Maaf, bapak sampai sekarang belum bisa membelikan sepatu bahkan baju baru sekalipun untukmu. Bapak minta maaf nak, bapak ternyata hanya membuatmu malu. Bap..”
“Sssttt… lihatlah pak! Aku sudah tak butuh sepatu itu lagi. Aku juga sudah tak butuh baju baru lagi. Pak, aku pakai sendal. Kau pakai satu ya? Agar kita bisa sama-sama rasain pakai sendal.” Ku copot sendal jepit yang menghiasi kakiku. Kutundukan tubuhku untuk memakaikan sendal ini ke kakinya. Tapi urung. Ayahku mengangkat tubuhku untuk berdiri. Di situlah, aku menangis. Aku menangis di pelukan ayahku.
“Bapak menyayangimu, nak.” Kata-kata ini membuat airmataku makin deras. Aku merasa hidupku kembali seperti dulu. Meski tak ada harta yang mewah di hidupku, namun aku percaya kasih sayang orangtua ku jauuuh lebih mewah dari apapun.
Seusai memakaikan sendal itu. Aku langsung pulang. Sebelumnya aku berfikir kalau orang yang dipukul warga tadi adalah ayah. Tapi kini, aku yakin. Ayahku tidak apa-apa. Mungkin itu orang lain yang hampir mirip seperti penampilan ayahku.
Aku berjalan berdampingan dengan ayahku. Sepanjang jalan, aku cerita dengan ayahku. Tertawa kecil dengannya. Dengan satu sendal yang kupakai di kaki kiriku saja, kadang aku merasa sakit. Tapi aku percaya, rasa sakit ini belum ada bandingannya dengan rasa sakit yang ayah alami selama ini.
Takkan kuulang kesalahanku kedua kalinya dengan hal yang sama…
Hidupku kembali ke semula. Aku kembali menjadi Anna yang dulu. Tak ada rasa malu lagi di diriku, ketika aku berangkat sekolah bareng bapak. Ketika bapak memunguti beberapa sampah di sekolah pun aku sudah tak malu. Untuk apa aku malu? Itu kan memang pekerjaan yang ayahku mampu kerjakan. Dan itu bapak lakukan untukku. Aku tak peduli apa kata teman-temanku tentang aku. Aku sekolah untuk mencari ilmu. Kalaupun aku tak punya teman di sekolah, setidaknya aku punya tuhan dan ayahku. Sebenarnya aku masih punya kakak. Tapi entahlah.. ia pergi jauh.
Kulihat beberapa hari ini wajah ayahku begitu pucat. Setiap kali kutanya ada apa dengannya, selalu ia jawab dengan senyumannya. Sempat kubilang padanya kalau aku ingin berhenti sekolah lalu membantunya mencari uang. Tapi ayahku tetap menyuruhku sekolah. Sebenarnya, aku ingin sekali meminjam uang ke teman-temanku, aku ingin memeriksakan ayahku ke dokter. Siapa tahu saja ayahku memang sakit. Kulihat sekarang batuknya semakin menjadi-jadi. Kadang aku memergokinya batuk keluar darah. Tapi setiap kali aku bertanya, lagi-lagi hanya senyum yang ia gunakan untuk menjawab pertanyaanku.
Tuhan… sembuhkan ayahku. Jangan biarkan aku kehilangan orang yang sangat menyayangiku.. biarkan aku berbakti untuknya. Biarkan aku yang selalu menjadi penyebab senyumnya.
“Nak, kau tak masuk sekolah?” Tanya ayahku membuyarkan lamunanku. Aku memang tak masuk. Bukan karena libur, tapi aku ingin menjaga ayahku. Aku beranjak dari posisiku yang duduk melamun di depan rumah.
“Tidak, pak. Aku ingin menemani bapak di rumah. Siapa tahu saja bapak nanti tiba-tiba mencariku.”
“Ha ha.. kamu ini ada-ada saja. Bapak tidak apa-apa. Bagaimana dengan sekolahmu kalau kau bolos begini? Bapak mau keluar, mau nyari sampah, biar kita hari ini bisa makan.” Ucap ayahku dengan batuk dan sedikit senyumnya. Sungguh tak tega aku melihatnya. Aku ingin sekali menggantikan posisi ayahku.
“Bapak istirahat saja, biar aku yang menggantikan bapak. Bapak kan lagi sakit. Aku tahu kok, kalau bapak sebenarnya sedang tidak sehat. Tapi bapak mencoba menyembunyikannya dariku. Iya kan pak?”
Bapak tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya tersenyum, lalu menundukan kepala masih dengan batuk nakalnya. Aku mulai berdiri dan mengambil karung yang biasa bapakku gunakan untuk wadah sampah. “Kau mau kemana, nak?”
“Tenanglah, aku akan kembali pak. Kau sebaiknya jaga rumah saja. Jangan lupa istirahat. Aku akan segera kembali.” kulangkahkan kakiku ke depan membelakangi ayahku. Sempat kulihat ayahku ingin mencegahku. Tapi biarlah, aku ingin menggantikannya. Aku ingin membiarkannya istirahat tanpa menyentuh debu-debu jalan, yang semakin membuatnya sakit.
Mencari sampah ternyata tak semudah yang kubayangkan. Aku pikir, aku akan menemukan sampah di sepanjang jalan, lalu aku hanya akan memungutinya satu-satu. Lelaah sekali rasanya. Aku mulai berfikir ternyata ayahku begitu hebat melakukan hal ini. Betapa malunya aku bila mengingat kesalahanku sebelumnya.
Hari sudah begitu sore, malah sebentar lagi adzan maghrib pasti berkumandang. Kurasa sampah-sampah yang kukumpulkan sudah banyak. Tinggal kujual ke pedangang sampah. Aku terkejut. Sampah segini banyaknya saat kujual hanya dapat uang 13 ribu? Ya tuhan.. sedikit sekali.
Dengan uang yang tak begitu banyak, aku segera pergi menuju apotik. Pikirku, aku akan membelikan obat untuk ayahku. Kalau masih tersisa cukup aku akan gunakan untuk makan ayahku. Aku mencoba melangkahkan kakiku menuju apotik terdekat. Namun, aku harus menyeberang terlebih dahulu. Kulihat jalanan begitu sepi. Aku enjoy dengan langkah kakiku. Tanpa melihat ke kanan dan kiriku, aku berlari. Aku tak melihat kalau ada mobil yang sedang melaju dengan sangat cepat. Aku tertabrak olehnya. Tubuhku melenting cukup jauh. Darahku keluar dari mana-mana. Selama lima menit tak ada yang menolongku. Bahkan mobil yang menabrakku sekalipun. Ia pergi begitu saja. Bisa dibilang kalau aku adalah korban tabrak lari yang sangat-sangat malang.
Masih kugenggam uang 13 ribu hasilku memulung sore ini. 10 menit kemudian, barulah ada orang yang menolongku. Semula hanya ada 2 orang, namun setelah itu ada banyak sekali orang yang mengerumuniku. Salah satu dari mereka adalah warga satu kampung denganku. Dengan ambulan yang mereka panggil untuk membawaku ke rumah sakit, aku dimasukan ke sana oleh mereka. Dan salah satu dari mereka melaporkan kejadian ini kepada ayahku.
Ayahku pasti panik akan keadaanku saat ini. Aku yakin itu. Ya tuhan, padahal aku tak ingin ini terjadi. Sungguh aku tak ingin sama sekali.
Aku sampai di rumah sakit. Untung saja aku datang tepat waktu, kalau tidak aku akan meninggal beberapa waktu kemudian. Segeralah aku ditangani oleh sang dokter. Katanya, aku kehilangan banyak darah. Memang benar kalau aku begitu, selama tertabrak mobil itu aku terlantar begitu saja sejak 10 menit sebelumnya.
Selama 15 menit aku tak sadarkan diri. Tapi untunglah, aku masih tetap hidup. Ada seseorang yang rela mendonorkan darahnya untukku. Kalau aku siuman nanti aku akan berterimakasih padanya.
5 menit kemudian..
Mulai kubuka mataku, aku merasa nyeri sekali dengan tangan dan kepala ini. Infuse ini menyiksaku. Kutengokkan wajahku ke arah kiriku. Lebih tepatnya aku melihat selang infuse yang berwarna merah di sampingku. Mungkin ini darah dari orang itu, pikirku.
Aku merasa terganggu dengan korden ini. Ingin sekali aku membukanya dan melihat siapa orang yang rela mendonorkan darahnya untukku. Kuputuskan untuk duduk. Aku buka korden warna hijau muda ini dengan tangan kananku. Innallillahiwainnaillaihiraji’un… sepertinya orang ini sudah meninggal dunia. Sekujur tubuhnya di tutup dengan kain putih yang mencolok. Tapi ada apa ini? Aku merasa ingin menangis melihat orang yang ada di depanku. Padahal mungkin aku sama sekali tak mengenal orang ini.
Kucoba beranikan diri untuk membuka kain putih penutup wajah orang ini. Dengan rasa penuh gemetar, kuberanikan diriku seberani mungkin. Terkejutlah aku. Aku tak pernah berfikir sebelumnya kalau orang yang ada di hadapanku ini adalah ayahku. Kuteteskan air mataku. Aku menangis dan terus menangis. Baru saja aku ingin berbakti kepadanya, ia kini meninggalkanku. Ya tuhan… katakan kalau ini hanya mimpiku. Ini hanya bayanganku. Aku tak ingin melihatnya seperti ini. Kucabut infuse yang ada di tanganku. Nyerii sekali. Rasanya jarum ini menusukku begitu dalam. Masih dengan tangisanku, aku menggoyang-goyangkan tubuh ayahku yang sudah tiada. Aku ingin ia terbangun lalu melihatku dengan senyumnya.
“Bapak, bangun! Ayo bangun. Bapak nggak mungkin tega kan pak ninggalin Anna hidup sendiri di rumah? Hah? Nggak tega kan, pak?” aku menangis sekencang mungkin. Mulai kuingat masa-masa bersama ayahku. Aku merindukannya.

Semua berubah. Kini aku tak punya siapa-siapa. Tak ada satu orang pun yang akan menyayangiku di dunia ini. Tak ada lagi ibu yang ramah. Tak ada lagi ayah yang selalu sabar denganku. Kakak? Aku masih punya kakak. Tapi sayang, aku tak tahu di mana kakakku berada. Sudahlah. Aku tak mungkin mencarinya. Sekarang, aku hanya akan mencoba memperbaiki hidupku yang jauh dari kesempurnaan. Aku akan menghidupi hidupku dengan keringatku sendiri. Meski mereka sudah tiada, aku yakin mereka juga tetap ingin aku sukses. Aku ingin melihat mereka senang dengan apa yang kulakukan.
Ibu, bapak… aku sayang kalian. Belum sempat aku membahagiakan kalian, belum sempat aku memunculkan senyum di wajah kalian, dan bahkan belum sempat aku selalu meminta maaf pada kalian, kalian telah pergi mendahuluiku.
Do’aku selalu untuk kalian. Tuhan.. izinkan mereka merasa bahagia di surga-Mu. Biarkan mereka merasakan kesejukan bersama-Mu.
sumber disini
Read more ...»