Puteri Junjung Buih

On Kamis, 11 Desember 2014 0 komentar

Tersebutlah kisah sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan. Kerajaan itu diperintah oleh dua bersaudara. Raja yang lebih tua bernama Patmaraga, atau diberi julukan Raja Tua. Adiknya si Raja muda bernama Sukmaraga. Kedua raja tersebut belum mempunyai putera ataupun puteri.
Namun diantara keduanya, Sukmaraga yang berkeinginan besar untuk mempunyai putera. Setiap malam ia dan permaisurinya memohon kepada para dewa agar dikarunia sepasang putera kembar. Keinginan tersebut rupanya akan dikabulkan oleh para dewa. Ia mendapat petunjuk untuk pergi bertapa ke sebuah pulau di dekat kota Banjarmasin. Di dalam pertapaannya, ia mendapat wangsit agar meminta istrinya menyantap bunga Kastuba. Sukmaraga pun mengikuti perintah itu. Benar seperti petunjuk para dewa, beberapa bulan kemudian permaisurinya hamil. Ia melahirkan sepasang bayi kembar yang sangat elok wajahnya.
Mendengar hal tersebut, timbul keinginan Raja Tua untuk mempunyai putera pula. Kemudian ia pun memohon kepada para dewa agar dikarunia putera. Raja Tua bermimpi disuruh dewa bertapa di Candi Agung, yang terletak di luar kota Amuntai. Raja Tua pun mengikuti petunjuk itu. Ketika selesai menjalankan pertapaan, dalam perjalanan pulang ia menemukan sorang bayi perempuan sedang terapung-apung di sebuah sungai. Bayi tersebut terapung-apung diatas segumpalan buih. Oleh karena itu, bayi yang sangat elok itu kelak bergelar Puteri Junjung Buih.
Raja Tua lalu memerintahkan pengetua istana, Datuk Pujung, untuk mengambil bayi tersebut. Namun alangkah terkejutnya rombongan kerajaan tersebut, karena bayi itu sudah dapat berbicara. Sebelum diangkat dari buih-buih itu, bayi tersebut meminta untuk ditenunkan selembar kain dan sehelai selimut yang harus diselesaikan dalam waktu setengah hari. Ia juga meminta untuk dijemput dengan empat puluh orang wanita cantik.
Raja Tuapun lalu menyayembarakan permintaan bayi tersebut. Ia berjanji untuk mengangkat orang yang dapat memenuhi permintaan bayi tersebut menjadi pengasuh dari puteri ini. Sayembara itu akhirnya dimenangkan oleh seorang wanita bernama Ratu Kuripan. Selain pandai menenun, iapun memiliki kekuatan gaib. Bukan hanya ia dapat memenuhi persyaratan waktu yang singkat itu, Ratu Kuripan pun menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat mengagumkan. Kain dan selimut yang ditenunnnya sangatlah indah. Seperti yang dijanjikan, kemudian Raja Tua mengangkat Ratu Kuripan menjadi pengasuh si puteri Junjung Buih. Ia ikut berperanan besar dalam hampir setiap keputusan penting menyangkut sang puteri.
sumber cerpenmu.com/
Read more ...»

Batu Panjang

On 0 komentar

(seperti diceritakan ayahandaku untuk pengantar tidurku diwaktu kecil)
Batu panjang sebuah dusun yang terdapat di Desa Sungai Jernih, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi mempunyai legenda menarik tentang nama dusun tersebut.
Alkisah pada zaman dahulu kala, ada seorang putri kecil yang tersisih dari kasih sayang keluarganya.Tiap malam sang putri kecewa karena permintaannya tak pernah dikabulkan. Dia selalu minta sepotong ikan yang dibawa oleh kakeknya dari hasil memancing yang sudah di masak untuk santapan makan malam keluarga. Sang putri minta ikan itu ke kakek, namun kakek bilang minta ke nenek.Minta ke nenek, nenek bilang minta ke ayahmu. Minta ke ayah, ayah bilang minta ke ibumu. Minta ke ibu, ibu bilang minta ke abangmu. Minta ke abang, abang bilang minta ke kakakmu. Kemudian si putri kecil menangis tersedu sedu diatas batu didepan rumahnya sambil memandang bulan purnama dalam keadaan sangat lapar.
Sambil menangis dibawah cahaya bulan purnama dia menyanyikan sebuah lagu. Setiap selesai menyanyikan sebait lagu maka batu itu tambah tinggi, terus meninggi dan makin tinggi, maka dia menyanyi terus:
Tinggi … tinggilah engkau batu, biar kakek ku senang biar nenekku senang.
Tinggi… tinggilah engkau batu biar ayahku senang biar ibuku senang,
Tinggi… tinggilah engkau batu biar abangku senang biar kakakku senang.
Akhirnya, sampai tengah malam sang putri benyanyi, tanpa disadarinya ketinggian batu itu mencapai bulan purnama yang bersinar cerah kepadanya seperti memanggilnya pada malam itu dan sang putri menginjakkan kaki ke bulan purnama, sesampai di bulan sang putri menendang batu tersebut dan batu itu roboh memanjang di bukit, maka dinamakanlah batu itu batu panjang.
Sang putri mencapai kebahagiannya di bulan dan tersenyum manis dalam kedamaian, maka bagi orang kerinci masa lalu bila memandang bulan purnama, nampak gambar seorang putri yang sedang tersenyum ke bumi dengan cahayanya yang indah.Mengetahui sang putri berada di bulan, terpisah jauh dan tidak akan pernah bertemu lagi, keluarga menangis sedih dan menyesal karena tidak memberikan sang putri sepotong ikan di waktu makan malam itu.

Sumber :
http://naizalnorewan.wordpress.com/category/legenda-batu-panjang/
Read more ...»

Asal Usul Raja Negeri Jambi

On 0 komentar

Jambi adalah salah satu nama provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang beribukota Jambi ini merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901 M). Konon, jauh sebelum adanya wilayah kesultanan ini, di negeri Jambi telah berdiri lima buah desa, namun belum memiliki seorang pemimpin atau raja. Untuk itu, para sesepuh dari kelima desa tersebut bersepakat untuk mencari seorang raja yang dapat memimpin dan mempersatukan kelima desa tersebut. Setelah bermusyawarah, mereka bersepakat bahwa siapa pun dapat menjadi pemimpin, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Ujian apakah yang harus ditempuh untuk menjadi pemimpin kelima desa tersebut? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Raja Negeri Jambi berikut ini.
* * *

Pada zaman dahulu, wilayah Negeri Jambi terdiri dari lima buah desa dan belum memiliki seorang raja. Desa tersebut adalah Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, dan Batin Duo Belas. Dari kelima desa tersebut, Desa Batin Duo Belaslah yang paling berpengaruh.

Semakin hari penduduk kelima desa tersebut semakin ramai dan kebutuhan hidup mereka pun semakin berkembang. Melihat perkembangan itu, maka muncullah suatu pemikiran di antara mereka bahwa hidup harus lebih teratur, harus ada seorang raja yang mampu memimpin dan mempersatukan mereka. Untuk itu, para sesepuh dari setiap desa berkumpul di Desa Batin Duo Belas yang terletak di kaki Bukit Siguntang (sekarang Dusun Mukomuko) untuk bermusyawarah.

”Sebelum kita memilih seorang raja di antara kita, bagaimana kalau terlebih dahulu kita tentukan kriteria raja yang akan kita pilih. Menurut kalian, apa kriteria raja yang baik itu?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas membuka pembicaraan dalam pertemuan tersebut.

”Menurut saya, seorang raja harus memiliki kelebihan di antara kita,” jawab sesepuh dari Desa Tujuh Koto.

”Ya, Benar! Seorang raja harus lebih kuat, baik lahir maupun batin,” tambah sesepuh dari Desa Petajin.

”Saya sepakat dengan pendapat itu. Kita harus memilih raja yang disegani dan dihormati,” sahut sesepuh dari Desa Muaro Sebo.

”Apakah kalian semua setuju dengan pendapat tersebut?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

”Setuju!” jawab peserta rapat serentak.

Akhirnya, mereka bersepakat tentang kriteria raja yang akan mereka pilih, yakni harus memiliki kelebihan di antara mereka.

”Tapi, bagaimana kita dapat mengetahui kelebihan masing-masing di antara kita?” tanya sesepuh dari Desa Sembilan Koto.

”Kalau begitu, setiap calon pemimpin harus kita uji kemampuannya,” jawab sesepuh Desa Batin Duo Belas.

”Bagaimana caranya?” tanya sesepuh Desa Petajin penasaran.

”Setiap calon harus melalui empat ujian, yaitu dibakar, direndam di dalam air mendidih selama tujuh jam, dijadikan peluru meriam dan ditembakkan, dan digiling dengan kilang besi. Siapa pun yang berhasil melalui ujian tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja. Apakah kalian setuju?” tanya sesepuh Desa Batin Duo Belas.

Semua peserta rapat setuju dan siap untuk mencari seorang calon raja. Mereka bersepakat untuk melaksanakan ujian tersebut dalam tiga hari kemudian di Desa Batin Duo Belas. Dengan penuh semangat, seluruh sesepuh kembali ke desa masing-masing untuk menunjuk salah seorang warganya untuk mewakili desa mereka dalam ujian tersebut. Tentunya masing-masing desa berharap memenangkan ujian tersebut. Oleh karena itu, mereka akan memilih warga yang dianggap paling sakti di antara mereka.

Waktu pelaksanaan ujian pun tiba. Semua warga dari kelima desa telah berkumpul di Desa Batin Duo Belas untuk menyaksikan lomba adu kesaktian yang mendebarkan itu. Setiap desa telah mempersiapkan wakilnya masing-masing. Sebelum perlombaan dimulai, peserta yang akan tampil pertama dan seterusnya diundi terlebih dahulu.

Setelah diundi, rupanya undian pertama jatuh kepada utusan dari Desa Sembilan Koto. Wakil desa itu pun masuk ke tengah gelanggang untuk diuji. Ia pun dibakar dengan api yang menyala-nyala, tapi tubuhnya tidak hangus dan tidak kepanasan. Ujian kedua, ia direndam di dalam air mendidih, namun tubuhnya tidak melepuh sedikit pun. Ujian ketiga, ia dimasukkan ke dalam mulut meriam lalu disulut dengan api dan ditembakkan. Ia pun terpental dan jatuh beberapa depa. Ia segera bangun dan langsung berdiri tegak seperti tidak terjadi apa-apa. Seluruh penonton kagum menyaksikan kehebatan wakil dari Desa Sembilan Koto itu.

Ketika memasuki ujian terakhir, tiba-tiba suasana menjadi hening. Seluruh penonton menjadi tegang, karena ujian yang terakhir ini adalah ujian yang paling berat. Jika kesaktian wakil dari Desa Sembilan Koto itu kurang ampuh, maka seluruh tulangnya akan hancur dan remuk. Ternyata benar, belum sempat penggilingan itu menggiling seluruh tubuhnya, orang itu sudah meraung kesakitan, karena tulang-tulangnya hancur dan remuk. Penggilingan pun segera dihentikan. Wakil dari Desa Sembilan Koto itu dinyatakan tidak lulus ujian dan gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya jatuh kepada wakil dari Desa Tujuh Koto.

”Wakil dari Desa Tujuh Koto dipersilahkan untuk memasuki gelanggang,” kata salah seorang panitia mempersilahkan.

Setelah beberapa saat menunggu, wakil dari Desa Tujuh Koto belum juga maju.

”Mana wakil dari Desa Tujuh Koto? Ayo, maju!” seru salah seorang panitia.

“Kalau tidak berani, lebih baik mundur saja!” tambahnya.

Merasa dilecehkan oleh panitia, calon dari Desa Tujuh Koto pun segera maju.

“Siapa takut? Kami dari Desa Tujuh Koto dak kenal kato undur, dak kenal kato menyerah!” seru wakil Desa Tujuh Koto itu dengan nada menantang.

Calon raja dari Desa Tujuh Koto pun diuji. Ia berhasil melalui ujian pertama hingga ujian ketiga. Namun, ia gagal pada ujian keempat. Akhirnya, ia pun gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya dihadapi oleh wakil dari Desa Batin Duo Belas, kemudian diikuti oleh Desa Petajin dan Muaro Sebo. Namun, wakil dari ketiga desa tersebut semuanya gagal melalui ujian keempat, yakni digiling dengan kilang besi. Oleh karena semua wakil dari kelima desa tersebut gagal melalui ujian, maka mereka pun kembali mengadakan musyawarah.

“Bagaimana kalau kita mencari calon raja Jambi dari negeri lain?” usul sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

Usulan tersebut diterima oleh peserta rapat lainnya. Selanjutnya mereka mengutus dua wakil dari setiap desa untuk pergi mencari calon raja. Keesokan harinya, rombongan itu berangkat meninggalkan Negeri Jambi menuju ke negeri-negeri di sekitarnya. Di setiap negeri yang disinggahi, mereka menanyakan siapa yang bersedia menjadi raja Jambi dan tidak lupa pula mereka menyebutkan persyaratannya, yaitu harus mengikuti keempat ujian tersebut.

Sudah berpuluh-puluh negeri mereka singgahi, namun belum menemukan seorang pun yang bersedia menjadi raja Jambi, karena tidak sanggup menjalani keempat ujian tersebut. Rombongan itu pun kembali mengadakan musyawarah.

”Kita kembali saja ke Negeri Jambi. Mustahil ada orang yang mampu memenuhi syarat itu untuk menjadi raja Jambi,” keluh wakil Desa Petijan.

”Sabar, Saudara! Kita jangan cepat putus asa. Kita memang belum menemukan calon raja Jambi di beberapa negeri yang dekat ini. Tetapi, saya yakin bahwa di negeri jauh sana kita akan menemukan orang yang kita cari,” kata wakil Desa Muaro Sebo.

”Apa maksudmu?” tanya wakil Desa Petijan penasaran.

”Kita harus mengarungi samudera yang luas itu,” jawab wakil Desa Muaro Sebo dengan tenang.

”Kami setuju!” sahut wakil dari Desa Batin Duo Belas, Tujuh Koto, dan Sembilan Koto.

”Kalau begitu, kami juga setuju,” kata wakil Desa Petijan.

Akhirnya, rombongan itu bertekat untuk mengarungi samudera di ujung Pulau Sumatra. Setelah mempersiapkan segala keperluan, berangkatlah rombongan itu dengan menggunakan dendang (perahu besar). Setelah berhari-hari diombang-ambing oleh gelombang laut di tengah samudera yang luas itu, mereka pun tiba di Negeri Keling (India). Mereka berkeliling di Negeri Keling yang luas itu untuk mencari orang yang bersedia menjadi Raja Negeri Jambi dengan ujian yang telah mereka tentukan. Semua orang yang mereka temui belum ada yang sanggup menjalani ujian berat itu.

Pada suatu hari, mereka mendengar kabar bahwa di sebuah kampung di Negeri Keling, ada seseorang yang terkenal memiliki kesaktian yang tinggi. Akhirnya, mereka pun menemui orang sakti itu.

”Permisi, Tuan! Kami adalah utusan dari Negeri Jambi. Negeri kami sedang mencari seorang raja yang akan memimpin negeri kami, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Apakah Tuan bersedia?” tanya salah seorang dari rombongan itu sambil menceritakan ujian yang harus dijalani calon raja itu.

”Saya sanggup menjalani ujian itu,” jawab orang itu.

Rombongan itu segera membawa calon raja itu pulang ke Negeri Jambi. Setelah menempuh perjalanan selama berminggu-minggu, tibalah mereka di Negeri Jambi. Orang sakti itu disambut gembira oleh rakyat Jambi. Mereka berharap bahwa calon yang datang dari seberang lautan itu benar-benar orang yang sakti, sehingga lulus dalam ujian itu dan menjadi raja mereka.

Keesokan harinya, orang sakti itu pun diuji. Seperti halnya calon-calon raja sebelumnya, orang sakti itu pertama-tama dibakar dengan api yang menyala-nyala. Orang Keling itu benar-benar sakti, tubuhnya tidak hangus, bahkan tidak satu pun bulu romanya yang terbakar. Setelah diuji dengan ujian kedua dan ketiga, orang itu tetap tidak apa-apa. Terakhir, orang itu akan menghadapi ujian yang paling berat, yang tidak sanggup dilalui oleh calon-calon raja sebelumnya, yaitu digiling dengan kilang besi yang besar. Pada saat ujian terakhir itu akan dimulai, suasana menjadi hening. Penduduk yang menyaksikan menahan napas. Dalam hati mereka ada yang menduga bahwa seluruh tubuh orang itu akan hancur dan remuk.

Ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Ujian terakhir itu pun dimulai. Pertama-tama, kedua ujung jari-jari kaki orang Keling itu dimasukkan ke dalam kilang besi. Kilang mulai diputar dan sedikit demi sedikit tubuh orang Keling itu bergerak maju tertarik kilang besi yang berputar. Semua penduduk yang menyaksikannya menutup mata. Mereka tidak sanggup melihat tubuh orang Keling itu remuk. Namun apa yang terjadi? Mereka yang sedang menutup mata tidak mendengarkan suara jeritan sedikit pun. Tetapi justru suara ledakan dahsyatlah yang mereka dengarkan. Mereka sangat terkejut saat membuka mata, kilang besi yang besar itu hancur berkeping-keping, sedangkan orang Keling itu tetap tidak apa-apa, bahkan ia tersenyum sambil bertepuk tangan. Penduduk yang semula tegang ikut bergembira, karena berhasil menemukan raja yang akan memimpin mereka.

Seluruh penduduk dari Desa Tujuh Koto, Sembilan Koto, Muaro Sebo, Petajin, dan Batin Duo Belas segera mempersiapkan segala keperluan untuk membangun sebuah istana yang bagus. Selain itu, mereka juga mempersiapkan bahan makanan untuk mengadakan pesta besar-besaran untuk meresmikan penobatan Raja Negeri Jambi. Beberapa bulan kemudian, berkat kerja keras seluruh warga, berdirilah sebuah istana yang indah dan orang Keling itu pun dinobatkan menjadi raja Jambi.
* * *

Demikian cerita Asal Usul Raja Negeri Jambi dari daerah Jambi, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat diambil, yaitu sifat suka bermusyawarah dan pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Pertama, sifat suka bermusyawarah. Sifat ini tercermin pada perilaku warga dari kelima desa dalam cerita di atas. Setiap menghadapi persoalan, mereka senantiasa bermusyawarah. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:

apa tanda Melayu bertuah,
sebarang kerja bermusyawarah.

Kedua, pentingnya keberadaan seorang pemimpin. Dalam cerita di atas, masyarakat menyadari bahwa keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Untuk itu, mereka pun berusaha mencari seorang raja yang diharapkan mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun mereka agar kehidupan mereka aman, damai dan sejahtera. Dikatakan dalam petuah amanah orang tua-tua Melayu:

bertuah ayam ada induknya
bertuah serai ada rumpunnya
bertuah rumah ada tuannya
bertuah kampung ada penghulunya
bertuah negeri ada rajanya
bertuah iman ada jemaahnya



Sumber:
Kaslani. Buku Cerita Rakyat dari Jambi 2. Jakarta: Grasindo. 1997.
 
Read more ...»

Asal Mula Nama Irian

On 0 komentar

Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Manana­­­­makrdi melawan, tak segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah darat­an yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.

Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.

“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.

“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,” katanya memohon.

“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.

“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian me­lepaskan Sampan.

Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.

Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.

Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.

Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci. Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.

Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama ke­­mudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.

“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.

“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.

“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.

Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.

Penulis: Daryatun

Sumber :
Buku 366 cerita rakyat nusantara
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2009/02/asal-mula-nama-irian.html
Read more ...»

Legenda Bukit Kelam

On 0 komentar


Bukit Kelam merupakan salah satu obyek wisata alam yang eksotis di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Bukit yang telah menjadi Kawasan Hutan Wisata ini memiliki panorama alam yang memesona, yaitu berupa pemandangan air terjun, gua alam yang dihuni oleh ribuan kelelawar, dan sebuah tebing terjal setinggi kurang lebih 600 meter yang ditumbuhi pepohonan di kaki dan puncaknya. Dibalik pesona dan eksotisme Bukit Kelam, tersimpan sebuah cerita yang cukup menarik. Konon, Bukit Kelam dulunya merupakan sebuah rantau.[1] Namun, karena terjadi suatu peristiwa, maka kemudian rantau itu menjelma menjadi Bukit Kelam. Bagaimana kisahnya sehingga rantau itu menjelma menjadi bukit yang indah dan memesona? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Bukit Kelam berikut ini.

* * *

Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.

Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.

Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.

Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.

”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.

Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.

Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.

Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.

”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.

Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.

”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.

”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.

Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.

Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.

Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.

Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.

”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.

”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.

”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.

”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.

Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.

Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.

”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”

Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.

”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.

Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.

Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.

* * *

Demikian cerita Legenda Bukit Kelam dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat yang ditimbulkan dari sikap iri hati dan tamak, dan keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat. Sifat iri hati dan tamak tercermin pada sifat dan perilaku Bujang Beji yang hendak menguasai ikan milik Temenggung Marubai yang ada di Sungai Melawi. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran, bahwa sifat tamak dan serakah dapat menyebabkan seseorang menjadi iri dan dengki. Sifat ini tidak patut dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau orang tak tahu diri,
seumur hidup iri mengiri
apa tanda orang serakah,
berebut harta terbuan tuah

Sementara sifat suka bermusyawarah untuk mufakat terlihat pada perilaku kawanan sampok dan beruang yang berusaha untuk menggagalkan rencana jelek Bujang Beji yang hendak membinasakan dewi-dewi di kayangan. Menurut Tenas Effendy, melalui musyawarah dan mufakat, tunjuk ajar dapat dikembangkan dengan pikiran, ide, atau gagasan yang dapat disalurkan. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:

di dalam musyawarah,
buruk baiknya akan terdedah
di dalam mufakat,
berat ringan sama diangkat


[1] Rantau berarti pantai sepanjang teluk (sungai); pesisir (lawan darat).

[2] Menuba artinya meracun ikan-ikan dengan tuba, yaitu sejenis racun ikan dari akar tumbuh-tumbuhan hutan yang sangat memabukkan.

[3] Pohon kumpang mambu adalah sejenis kayu raksasa yang ujungnya menjulang tinggi ke angkasa.
 
Read more ...»

Asal mula Danau Laut Tawar

On 0 komentar

Danau Laut Tawar, Takengon, Nanggroeh Aceh Darussalam


Alkisah dulu di Takengon pernah ada sebuah kerajaan, tdk diketahui secara jelas apa nm kerajaannya tapi yg pasti dikerajaan itu ada seorang putri yg bernama Putri Pukes.

Putri Pukes mencintai seorang pria dari kerajaan lain tapi hubungan mereka tdk disetujui oleh orang tua Putri Pukes. Tapi sang putri tetap teguh dgn keinginannya sehingga akhirnya terjadilah pernikahan.

Saat Putri Pukes akan pergi menuju kerajaan suaminya, orang tua yg dari awal hubungan mrk tdk setuju berpesan…"Jika kau sudah pergi meninggalkan kerajaan ini janganlah sekalipun engkau palingkan wajahmu ke belakang "

Sang putri yang saat itu bimbang antara sayang dgn org tuanya serta cinta pada suaminya ternyata tdk dpt menahan kesedihan akibat kehilangan itu . Serta merta saat perjalanan yang dikawal oleh bbrp prajurit itu sang putri tdk sadar memalingkan wajahnya ke belakang…tiba2 bersamaan dgn itu datanglah petir yg diiringi dgn hujan lebat.

Parapengawal menganjurkan kepada putri utk berteduh di sebuah gua yang tdk jauh dr tempat mereka.

Setelah berteduh dan mrk akan melanjutkan perjalanan, para pengawalpun memanggil putri yg berdiri disudut sendirian. Tapi dipanggil berkali2 sang putri tdk menyahut, ternyata setelah didatangi badan sang putri sudah mengeras seperti batu.

Sampai sekarang patung membatu sang putri sudah membesar dibagian bawahnya, tapi msh jelas bentuk sanggul dan perawakan yg mungil dari sang putri. Bagian bawah badannya yg besar katanya diakibatkan air matanya yg sampai skrg kadang2 msh jatuh. Kata sang penjaga jika org yg mengunjungi dan mengetahui kisah putri trus merasa sedih patung sang putri bisa saja tiba2 ikut mengeluarkan air matanya.

Disana juga ada lubang tempat suami sang putri lari, yg ktnya sampai sekarang arwahnya msh sering menjaga sang putri…begitulah kt sang penjaga.

Akibat hujan deras tadi terjadilah Danau Laut Tawar yang sampai sekarang byk dikunjungi oleh orang.

Sumber  :
http://tourismresort-indonesia.blogspot.com/2011/09/laut-tawar-lake.html
Read more ...»

Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak

On 0 komentar

Danau Singkarak, sumatra barat
Danau Singkarak dengan luas 107,8 m2 merupakan danau terluas kedua setelah Danau Toba di Pulau Sumatra, Indonesia. Danau yang berada di ketinggian 36,5 meter dari permukaan laut ini terletak di dua kabupaten di Provinsi Sumatra Barat, yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Menurut cerita, danau yang juga merupakan hulu Sungai Batang Ombilin ini dahulu memang merupakan lautan luas. Namun karena terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa, air laut tersebut menyusut. Peristiwa Apakah yang menyebabkan air laut tersebut menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak berikut ini.

* * *

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sumatra Barat, hiduplah keluarga Pak Buyung. Ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir laut bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut. Setiap pagi mereka pergi ke hutan di Bukit Junjung Sirih untuk mencari manau, rotan, dan damar untuk dijual ke pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut menangkap ikan dengan menggunakan pancing, bubu ataupun jala.

Ketika sudah berumur sepuluh tahun, Indra sering membantu kedua orangtuanya ke hutan maupun ke laut. Betapa senang hati Pak Buyung dan istrinya mempunyai anak yang rajin seperti Indra. Namun, ada satu hal yang membuat mereka risau, karena si Indra memiliki suatu keanehan, yaitu selera makannya amatlah berlebihan. Dalam sekali makan, ia dapat menghabiskan nasi setengah bakul dengan lauk beberapa piring.

Pada suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik hasil hutan maupun hasil laut sangat sulit diperoleh. Untuk itu, keluarga Pak Buyung harus berhemat terutama menahan selera makan. Mereka harus makan apa adanya. Jika tidak ada nasi, mereka makan ubi atau pun keladi (talas). Cukup lama musim paceklik berlangsung, sehingga mereka semakin kesulitan mendapatkan makanan. Hal itu rupanya membuat mereka lebih peduli pada diri sendiri daripada terhadap anaknya. Kesulitan mendapatkan makanan itu juga membuat mereka hampir berputus asa. Mereka sering bermalas-malasan pergi mencari rotan ke hutan dan mencari ikan ke laut.

Sudah beberapa hari keluarga Pak Buyung hanya makan ubi bakar. Tentu hal itu tidak mengenyangkan perut si Indra. Suatu hari, Indra menangis minta makanan kepada kedua orangtuanya.

“Ayah, carikan saya makanan! Saya sangat lapar,” keluh Indra.

“Hei, anak malas! Kalau kamu lapar carilah sendiri makanan ke hutan atau ke laut sana!” seru ayahnya dengan nada kesal.

“Pak! Bukankah anak kita masih kecil? Tentu dia belum bisa mencari makanan sendiri,` sahut sang Ibu.

“Iya, dia memang masih anak-anak. Tapi, dia yang paling banyak makannya,” bantah sang suami.

Mendengar bantahan suaminya itu, sang Istri pun diam. Ia kemudian membujuk Indra agar berangkat sendiri ke Bukit Junjung Sirih untuk mencari hasil-hasil hutan di Bukit. Indra pun menuruti nasehat ibunya. Sebelum berangkat ke hutan, Indra terlebih dahulu memberi makan seekor ayam piaraannya yang bernama Taduang. Si Taduang adalah seekor ayam yang pandai. Setiap kali tuannya (si Indra) pulang dari hutan, ia selalu berkokok menyambut kedatangan tuannya.

Menjelang siang, Indra pulang dari hutan tanpa membawa hasil. Keesokan harinya, ayahnya memerintahkannya pergi ke laut untuk memancing ikan. Saat Indra pergi ke laut, ayah dan ibunya hanya tidur-tiduran di gubuk. Tampaknya, mereka benar-benar sudah putus asa menghadapi kesulitan hidup. Keadaan demikian berlangsung selama sebulan, sehingga Indra merasa tubuhnya sangat lelah dan berniat untuk beristirahat beberapa hari.

Pada suatu hari, sepulang dari laut mencari ikan, Indra berkata kepada ayahnya:

“Ayah! Badanku terasa sangat letih. Bolehkah saya beristirahat untuk beberapa hari?” pinta Indra.

“Apa katamu? Dasar anak malas! Kamu tidak boleh beristirahat. Besok kamu harus tetap kembali ke laut mencari ikan,” ujar sang Ayah.

Oleh karena tidak ingin membatah perintah ayahnya, keesokan harinya Indra pergi ke laut mencari ikan. Ketika Indra berangkat ke laut, secara diam-diam ibunya juga berangkat ke laut. Tapi, ia menuju ke sebuah tanjung, agak jauh dari tempat Indra mencari ikan. Sementara ayahnya pergi ke hutan.

Menjelang siang, Pak Buyung kembali dari hutan dengan membawa seikat ijuk. Sesampainya di rumah, ia melihat istrinya sedang membersihkan pensi (sejenis kerang berukuran kecil).

“Sedang apa, Bu?” tanya Pak Buyung kepada istrinya.

“Sedang membersihkan pensi, Pak! Tadi ketika hendak mencari ikan di laut, aku melihat banyak warga dari kampung tetangga sedang mencari pensi. Akhirnya aku pun ikut mencari pensi bersama mereka,” jawab istrinya.

“Bagaimana cara memasaknya? Bukankah Ibu belum pernah memasak pensi sebelumnya? ” tanya Pak Buyung.

“Tenang, Pak! Kata seorang warga dari kampung tetangga, daging pensi enak jika dimasak pangek[1],” jelas istrinya.

“Wah, kalau begitu, kita makan enak siang ini,” ucap Pak Buyung sambil mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.

Setelah membersihkan pensi itu, sang Istri pun segera membuatkan bumbu dan memasaknya. Tak lama kemudian, aroma masakan pangek pun tercium oleh Pak Buyung.

“Wah, harum sekali aromanya. Istriku memang pintar memasak,” puji Pak Buyung seraya mendekati istrinya yang sedang masak di dapur.

“Bu, apakah pangek ini cukup kita makan bertiga?” tanya Pak Buyung.

“Tentu saja cukup,” jawab istrinya.

“Apakah Ibu sudah lupa kalau si Indra makannya banyak? Pangek ini pasti tidak cukup dia makan sendiri,” kata Pak Buyung.

`Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya istrinya.

“Bagaimana kalau kita makan diam-diam, selagi si Indra masih berada di laut,” saran Pak Buyung.

“Tapi, sebentar lagi dia pulang,” kata istrinya.

“Kalau dia pulang, pasti akan ketahuan.,” ucap Pak Buyung.

“Bagaimana Bapak bisa mengetahuinya!” tanya istrinya.

“Jika si Taduang berkokok, berarti si Indra telah pulang,” jawab Pak Buyung.

Sang Istri pun mengangguk-angguk mendengar jawaban suaminya. Keduanya pun menyantap pangek itu dengan lahapnya. Namun, baru makan beberapa suap, tiba-tiba ayam peliharaan Indra berkokok. Mendengar kokok ayam itu, kedua suami-istri itu segera mencuci tangan, lalu membereskan makanan dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke gubuk, ia melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai. Kedua orangtuanya terlihat tenang, seakan-akan tidak ada sesuatu yang terjadi.

“Hei, Indra! Mana ikan yang kamu peroleh?” tanya ayahnya.

“Maaf, Ayah! Hari ini aku tidak memperoleh ikan?” jawab Indra dengan wajah kusut.

“Kenapa kamu pulang kalau belum memperoleh ikan?” tanya ayahnya.

“Maaf, Ayah! Saya sangat letih dan lapar,” jawab Indra.

“Hei, apa yang bisa kamu makan kalau tidak memperoleh ikan?” sang Ayah kembali bertanya.

“Saya sudah berusaha, Ayah. Tapi belum berhasil,” jawab Indra.

“Ayah, Ibu! Adakah sesuatu yang bisa saya makan. Sekedar pengganjal perut,” pinta Indra kepada kedua orangtuanya.

“Tidak! Hari ini tidak ada makanan untuk anak pemalas,” kata ayahnya.

“Tapi, Ayah! Saya lapar sekali,” keluh Indra sambil memegang perutnya.

“Baiklah! Kamu boleh makan, tapi kamu harus mencuci ijuk ini sampai bersih,” sahut ibunya sambil menyerahkan ijuk yang tadi dibawa suaminya dari hutan.

Indra pun segera pergi ke laut mencuci ijuk itu karena ingin mendapatkan makanan dari kedua orangtuanya. Ketika Indra berangkat ke laut, kedua orangtuanya kembali melanjutkan acara makan mereka.

“Wah, meskipun baru kali ini Ibu memasak pangek pensi, tapi rasanya lezat sekali,” sanjung Pak Buyung kepada istrinya.

Sang Istri tersenyum mendengar sanjungan suaminya. Kemudian sepasang suami istri itu makan pangek dengan lahapnya. Mereka baru berhenti makan setelah perut mereka benar-benar sudah penuh. Selesai makan, mereka kembali menyembunyikan makanan yang masih tersisa di bawah tempat tidur. Tidak beberapa lama kemudian, si Taduang terdengar berkokok, pertanda tuannya telah kembali dari laut. Ketika masuk ke dalam gubuk, Indra melihat kedua orangtuanya masih sedang duduk bersantai.

“Bagaimana? Apakah ijuk itu sudah bersih kamu cuci?” tanya ibunya.

“Sudah, Bu,” jawab Indra sambil meletakkan ijuk itu di depan ibunya.

“Hah! Kenapa masih hitam begini? Kamu harus mencucinya hingga berwarna putih,” ujar ibunya.

“Tapi, Bu! Aku sudah berusaha mencucinya berkali-kali, bahkan aku menggosoknya dengan campuran pasir, tapi masih tetap berwarna hitam,” sanggah Indra.

“Ah, alasan saja! Cuci lagi ijuk itu ke laut!” seru ayahnya.

Dengan langkah sempoyongan, Indra pun kembali ke laut. Sesampainya di laut, ia terus berusaha mencuci dan menggosok ijuk itu hingga berkali-kali, tetapi tetap saja berwarna hitam. Rupanya Indra yang masih anak-anak tidak mengetahui jika ijuk itu memang pada dasarnya berwarna hitam. Meskipun ijuk itu berkali-kali dicuci dan digosok, tentu tidak akan pernah berwarna putih.

Menjelang senja, Indra kembali ke gubuknya. Ketika masuk ke ruang tengah gubuknya, ia tidak lagi melihat kedua orangtuanya duduk-duduk. Dengan pelan-pelan, ia melangkah menuju ke ruang dapur. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua orangtuanya sedang tertidur pulas di ruang dapur. Di sekeliling mereka berserakan piring makan, bakul nasi, dan panci pangek pensi yang telah kosong. Hanya kuah dengan beberapa cuil daging pensi yang tersisa.

Alangkah sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa kedua orangtuanya telah menipu dan membohonginya. Namun, sebagai anak yang berbakti, dia tidak ingin marah kepada mereka yang telah melahirkannya. Ia pun berjalan keluar dari gubuknya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Saat berada di luar gubuk, ia langsung menangkap ayam kesayangannya, si Taduang. Kemudian ia duduk di atas batu di samping gubuknya sambil mengusab-usap bulu si Taduang.

“Taduang! Rupanya Ayah dan Ibuku telah menipuku. Untuk apalagi aku tinggal bersama mereka di sini, kalau mereka sudah tidak menyayangiku lagi,” kata Indra kepada ayamnya.

Mendengar pernyataan Indra, ayam itu pun berkokok berkali-kali, pertanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya. Si Taduang kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya. Indra pun mengerti bahwa ayam kesayangannya itu akan mengajaknya pergi meninggalkan kampung itu. Dengan cepat, Indra pun segera berpegangan pada kaki si Taduang. Beberapa saat kemudian, si Taduang terbang ke udara, sementara Indra tetap berpegangan pada kakinya. Saat tubuh Indra terangkat, batu tempat Indra duduk itu juga ikut terangkat. Anehnya, semakin tinggi mereka terbang, batu itu semakin membesar. Akhirnya, si Taduang pun sudah tidak kuat lagi membawa terbang si Indra bersama batu besar itu. Melihat hal itu, Indra pun segera menyentakkan kakinya, sehingga batu besar itu melesat menuju ke bumi dan menghantam salah satu bukit yang ada di sekitar lautan. Hantaman batu itu membentuk sebuah lubang memanjang. Dengan cepat, air laut pun mengalir ke arah lubang itu dan menembus bukit, sehingga membentuk aliran sungai.

Konon, itulah yang menjadi asal mula Sungai Batang Ombilin, yang bermuara ke daerah Riau. Semakin lama air laut itu semakin menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi Danau Singkarak yang hingga kini menjadi kebanggaan masyarakat Solok. Sementara Indra yang diterbangkan oleh ayam kesayangannya, si Taduang, hingga kini tidak diketahui keberadaannya.

* * *

Danau Singkarak dan Sungai Ombilin

Demikian cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat suka mementingkan diri sendiri. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Pak Bujang bersama istrinya yang lebih mementingkan diri mereka sendiri dan melalaikan anak mereka yang sedang kelaparan. Akibatnya, mereka pun ditinggal pergi oleh anaknya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kerja beramai,

makan sendiri



Sumber:
Ivan Adilla. Cerita Rakyat dari Solok (Sumatra Barat). Jakarta: Grasindo. 2005.
Lukisan danau singkarak : SINGKARAK ; ERNST HAECKEL — One of the prints from Ernst Haeckel’s 1905 Wanderbilder (Travel Pictures),
http://empimuslion.wordpress.com/2008/04/09/382/
Read more ...»

Legenda Prasasti Munjul

On 0 komentar

Oleh Malvin Dwi Ruda

Prasasti Munjul
Perairan Ujung Kulon

SEBUAH perahu nelayan berpenumpang tiga orang tampak melaju pelan membelah pantai yang berair tenang. Siang itu matahari bersinar tak terlalu terik sehingga angin yang bertiup pun terasa tak terlalu menyengat.

“Dengan hasil tangkapan sebanyak ini, kita bisa istiraltat satu dua hari di darat.” Salah seorang nelayan mengungkapkan kegembiraan hatinya sambil menimang-nimang ikan hasil tangkapan mereka, senyumnya tampak begitu cerah.

“Ya,” jawab kawan yang ada di sebelahnya, “Ini kesempatanku untuk bisa lebih lama berkumpul dengan isteriku.”

“Tiap pulang, aku merasa istriku kian cantik saja dibanding ikan apa pun!” sambut nelayan pertama lagi. Sementara Itu. lelaki pendayung yang berada di belakang kedua temannya tampak menguping perbincangan kedua temannya itu. Wajahnya tampak begitu polos dan dengan lugunya dia mengajukan pertanyaan menyela pembicaraan kedua orang itu.

“Apa sih yang kalian bicarakan?”

Kedua temannya mendengar jelas pertanyaan dari lelaki pendayung namun mereka menganggapnya sepi dan terus saja melanjutkan pembicaraan mereka.

“Kau tahu? Aku bahkan sudah menyiapkan kuda laut!” kata orang kedua. Dan disambut dengan penuh minat oleh orang pertama.

“Wah? Kau menangkapnya? Boleh minta satu?”

Belum sempat orang kedua menjawab pertanyaan itu, lelaki pendayung yang merasa tak diacuhkan dengan tampang tak bersalah kembali mengajukan pertanyaan.

“Apa ada hubungannya antara ikan dengan istri kalian?”

Pertanyaan lelaki pendayung kali ini mendapat reaksi, bahkan lebih dari yang dia bayangkan. Kedua temannya memandang ke arahnya sambil bersama-sama berkata-kata dengan suara keras. “Diam kau, Perjaka!”

Kedua temannya memandang lelaki pendayung dengan alis berkerut, tampaknya mereka sudah merasa terganggu dengan pertanyaan lelaki pendayung. Adapun halnya dengan lelaki pendayung sendiri, demi melihat reaksi kedua temannya yang demikian itu, dia hanya bisa merungkut gugup sambil menggigit batang dayung. Dia hanya berkata-kata dalam hati dengan penuh ketidakmengertian. “Kenapa mereka marah” Rasanya tak ada yang salah dengan perkataanku.”

Kedua teman lelaki pendayung lalu kembali melanjutkan perbincangan mereka dan membelakanginya. Dengan wajah kesal lelaki pendayung membuang muka dan mengumpat dalam hati. “Sombong! Mentang-mentang aku belum punya isteri”

Pantai berpasir putih tempat mereka menyandarkan perahu sudah terlihat. Perahu mereka kini melaju meyusuri sepanjang tepian pantai sebelum akhirnya tiba di tempat tujuan. Namun saat mereka tiba di sebuah tikungan pantai yang terlindung oleh pepohonan lebat, muncul sebuah perahu lain dari balik tikungan itu. Mula-mula hanya bagian depan kapal yang terlihat dan lama kelamaan terlihatlah seluruh bagian kapal itu. Kapal itu tidak terlalu besar namun bila dibanding dengan perahu ketiga orang orang itu, ukurannya tiga kali lebih besar, lengkap dengan tiang layar dan empat dayung di masing-masing sisinya.

Kapal yang muncul tiba-tiba itu seketika mengagetkan kedua teman lelaki pendayung. Jarak mereka terlalu dekat dan mungkin sekali akan terjadi tabrakan bila tidak segera dibelokkan arahnya. Keduanya berseru kaget. “I… itu! “

Dengan tergagap, mereka berteriak pada lelaki pendayung. “Belokkan perahu! Belokkan perahu!”

Adapun lelaki pendayung, kejadian tadi masih membuatnya kesal. Dengan acuh tak acuh dia berpura-pura tak mendengar teriakan gugup temannya. Sambil memandang ke lain arah dan memejamkan mata, dia asyik bersiul-siul. Lelaki pendayung bermaksud hanya ingin membalas sikap kedua temannya tadi yang tidak mengacuhkannya, namun balasannya ini tampak terlalu berlebihan, seharusnya dia mendengar dan bisa membedakan antara perkataan biasa dengan teriakan-teriakan gugup. Dan mungkin apabila dia melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi, sikapnya itu pasti akan sangat disesalinya kelak.

Tabrakan akan segera terjadi, kedua teman lelaki pendayung sudah tak sempat lagi untuk berteriak-teriak kepada lelaki pendayung atau pun melakukan perbuatan lain. Bahkan untuk menghindar dan menyelamatkan diri saja mereka sudah tak ingat. Mereka merungkutkan badan dan menanti dengan pasrah segala yang akan terjadi. Namun di saat-saat genting itu, kapal yang ada di depan mereka tiba-tiba membelokkan perahunya dan tabrakan pun terhindar. Kapal itu melaju searah dan berdampingan dengan perahu ketiga nelayan itu. Dan sebelum ketiga nelayan itu menyadari, beberapa utas tali melayang dari arah kapal itu. Lelaki pendayung masih asyik bersiul-siul dan tak menyadari kalau seutas tali telah melayang di dekatnya. Tali itu tiba-tiba mendarat di tubuhnya dan berputar ke arah leher. Lelaki pendayung terkejut dan melihat apa yang tengah menjalar di lehernya, namun dia tak sempat berbuat apa-apa. Karena saat dia sadar dan tahu apa yang melilit lehernya, tali yang pada ujungnya diikatkan sebuah pemberat dari kayu itu tiba-tiba ditarik dengan kencang ke atas. Lelaki pendayung tercekik dan tubuhnya terangkat mengikuti arah tarikan tali. Sementara itu, tali-tali yang lain tampak melilit dan mengikat di beberapa bagian perahu. Perahu tertarik ke samping dan membuat posisinya agak miring. Kedua teman lelaki pendayung tahu dan sadar apa yang tengah terjadi pada perahu mereka namun mereka belum mengerti apa maksud dari semua itu. Mereka lalu memandang ke arah kapal di samping perahu mereka dan mencari-cari kalau-kalau ada seseorang yang dapat ditanyakan.

Pencarian mereka segera terjawab. Di sana, di atas kapal, di bawah sorotan matahari siang, sesosok tubuh tampak berdiri santai dan tampak tengah mengawasi mereka. Kedua nelayan mengangkat tangan untuk menghalangi silaunya sinar matahari saat mereka memandang ke atas, ke arah kapal tempat sosok tubuh itu berada. Saat itu terdengar sosok itu berkata-kata kepada mereka.

“Banyak juga tangkapan kalian! Kalian pasti tengah memikirkan kesenangan sehingga tak menyadari kehadiran kami!”

Sambil memicingkan mata, salah satu nelayan memberanikan diri mengajukan pertanyaan.”Siapa kalian dan mau apa?”

Sosok itu menjawab sambil berkacak pinggang dan menepuk dada. “Kami adalah perompak! Dan kami senang sekali mengganggu kesenangan orang!” Saat itu sosok itu merendahkan dan memajukan tubuhnya sehingga wajahnya kini dapat terlihat oleh para nelayan. Sosok yang mengaku perompak itu bertubuh tinggi besar. Dia mengenakan baju sebatas pangkal lengan, baju itu terbuka dan tak menutupi dadanya yang bidang dan berotot dengan bulu-bulu lebat, sementara sebuah kalung besar berwarna kuning emas tampak menggantung di depan dadanya. Di bagian bawah, dia hanya mengenakan selembar kain sebatas pertengahan paha.

Wajahnya yang ditumbuhi kumis tebal melintang dan jenggot lebat tak terurus tampak bengis saat berkata-kata. Dengan rambut panjang sebahu dan sebelah anting besar berwarna kuning emas juga, dilengkapi secarik kain ikat kepala melilit keningnya dengan salah satu bagian menutup mata sebelah kiri.

“Serahkan milik kalian kalau ingin selamat!”

Dua nelayan tak bisa berkata-kata, tapi tiba-tiba saja terdengar suara lantang menyambut ucapan perompak itu. “Enak saja! Susah payah kami mencari ikan di laut lalu kalian ingin memintanya begitu saja? Huu!”

Semua mereka menoleh ke arah suara. Tampak lelaki pendayung dengan wajah kesal memandang ke arah perompak itu. Dia tampak terlentang dengan leher terikat tali. Dengan geram dia menarik-narik tali itu dengan tangan dan kakinya membuat tubuhnya yang kurus itu tertekuk sedemikian rupa dan malah jadi terlihat lucu. Perompak itu memicingkan mata. Dia lalu membuang muka ke arah lain dengan acuhnya.

“Kalau begitu, kembalilah ke laut dan bersusah payahlah lagi!”

Usai berkata begitu, dengan tenang perompak bertubuh katai itu menyentakkan tali yang mengikat lelaki pendayung. Lelaki pendayung kontan melotot dengan leher terjulur karena tercekik. Tubuhnya terangkat dari perahu dan melayang ke depan lalu masuk ke dalam air.

Seorang perompak bertubuh katai melongok dari dinding kapal. “Ooh! Mungkin ini artinya `berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu lalu berenang mati-matian’, yaaa?!”

Sementara itu, tanpa membuang waktu, perompak bertampang seram tadi segera memberi perintah kepada perompak-perompak lainnya. “Ayo pindahkan ikan-ikan mereka ke kapal kita!”

Para perompak segera bergerak mengikuti perintah itu. Seorang perompak bertubuh jangkung dan kurus menggamit lengan perompak bertubuh katai.”Ayo!”

Dengan lagak angkuh, si perompak bertubuh katai mengacungkan telunjuknya di depan wajah. “Diamlah! Kalau itu, aku sudah tahu artinya!”

Tapi mendadak, seorang perompak yang berada di bagian belakang kapal bertenak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah. “Ketua! Lihat di sebelah sana!”

Semua menoleh ke arah yang ditunjukan oleh orang itu, dan di kejauhan, tampaklah sebuah perahu yang berukuran dua kali lebih besar dari kapal itu tengah melaju tenang berlawanan arah dengan kapal mereka. Seketika, perompak bertampang bengis yang dipanggil ketua itu melonjak-lonjak sambil menari kegirangan.

“Wah! Ini baru tangkapan besar!”

Perompak katai menyilangkan tangan di depan dadanya sambil berkata angkuh. “Tak masalah bagiku!”

Dengan penuh semangat, ketua memberi perintah baru kepada anak buahnya sambil menunjuk ke arah kapal besar tadi. “Marl kita rusak kesenangan mereka!”

Seorang perompak bertubuh gemuk menarik tali yang tadi mengikat si pendayung. “Maaf, yah! Jangan marah! Talinya kami ambil kembali!” Dia menyentakkan tali itu dan seketika leher si pendayung terbebas sudah dari jeratan tali itu. Sambil berenang, lelaki pendayung menarik nafas lega. Dia segera menuju perahunya dan berpegangan di tepi perahu. Namun seketika itu juga, kedua temannya segera mengambil kesempatan untuk kabur. “Cepat kita pergi!” Tanpa menunggu lelaki pendayung naik kembali ke perahu, mereka segera mendayung perahu itu dengan cepat sementara yang satunya lagi mendayung dengan menggunakan kedua tangannya. Lelaki pendayung dengan kelabakan berteriak-teriak kepada teman-temannya. Dia memegang tepi perahu dengan kencang saat perahu mulai melaju. Air laut bercipratan ke wajah lelaki pendayung.

Sementara itu, di kapal besar yang berbendera dengan lambang naga, seorang pria bertubuh agak gemuk dengan pakaian bangsawan kerajaan keluar dari bagian dalam kapal. Saat itu seorang pria lain tampak menghampiri sambil menundukan tubuhnya.

“Ada apa, Laksamana?” tanya bangsawan itu. Yang ditanya menjura dulu sebelum akhirnya menjawab. “Ada dua perahu di depan kita, Sang Menteri!”

Sang Menteri meninggikan kepalanya memandang ke depan. Lalu katanya lagi. “Biarkan saja! Tapi bila mereka berbuat sesuatu yang mencurigakan, kau tahu apa yang harus dilakukan!” Laksamana menjura lagi. “Hamba, sang Menteri”‘ Sang Menteri mengangguk lalu memandang lagi ke depan, kemudian dia berjalan masuk kembali ke bagian dalam kapal.

Beberapa lama kemudian, kedua perahu saling berdekatan dan berpapasan. Para perompak berdiri di sisi kapal mereka. Para pendayung yang berada di kapal besar melongok ke rah mereka sambil mengangguk ramah. Salah seorang pendayung tampak berbisik kepada temannya. “Tampang mereka aneh-aneh, yah?” Temannya mengangguk dan melongok pula. Sambil mengangkat tangan dengan senyum lebar, dia menyapa perompak itu. “Hai, para nelayan! Apa kabar?”

Baru saja habis berkata-kata, seutas tali tiba-tiba melayang ke arah lehemya. Belum sempat dia menyadan hal Itu, tali sudah ditarik orang dan dan membelit ke arah leher dan kemudian disentakan. Seketika si pendayung ini tercekik dengan lidah terjulur dan tubuhnyan tertarik pula ke depan. Lelaki pendayung tercebur ke dalam laut. Yang menarik tali itu adalah perompak bertubuh gemuk. Saat berhasil menceburkan lelaki pendayung, perompak katai bertanya padanya. “Apa itu artinya: tak ada basa-basi bagi perompak?”

Yang ditanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jari. “Betul!”

Laksamana bertanya marah kepada perompak itu. “Hei! Apa yang kalian lakukan?”

Ketua perompak menjawab. “Kami adalah perompak yang menguasai perairan ini. Disambut oleh perompak bertubuh katai. “Betul!”

Laksamana berkata lagi. “Tahukah kalian? Kapal ini adalah milik kerajaan Tarumanegara! Dan di dalamnya ada seorang menteri Kerajaan!”

Ketua perompak membuang muka sambil berkata acuh. “Tidak peduli!”

Disambut kembali oleh si katai. “Itu artinya: kami akan tetap merampok kapal kalian!”

Baru habis kata-kata itu, si ketua perompak memberi perintah kepada anak buahnya. “Seraaaaaang!”

Melihat hal itu, sang Laksamana mencabut kerisnya dan memberi perintah pula kepada para awak kapalnya. “Pertahankan kapal dan lindungi sang Menteri sampai titik darah terakhir!”

Beberapa minggu kemudian.

Tampak dua orang tengah memancing di tepi pantai. Keduanya mengenakan pakaian seperti umumnya orang-orang pada masa itu, yaitu sehelai kain polos yang diikatkan di pinggang dan hanya menutupi tubuh bagian bawah. Orang yang bertubuh tinggi besar dan berparas cakap dengan rambut tergerai sebatas pundak tampak menyentakan pancingnya. “Dapat lagi!” katanya. Tak jauh di sampingnya temannya yang bertubuh jauh lebih kecil dan jauh lebih pendek dengan rambut digelung ke atas hanya bisa memandang dengan kesal. “Huh!” Tapi mendadak wajahnya berubah cerah. Dia merasa pancingnya ditarik. “Nah! Setelah sekian lama. akhirnya kau makan juga umpanku!” Dia bersiap-siap untuk menarik pancingnya. Temannya yang bernama Bhimaparakrama atau biasa dipanggil Bhima, mendekat dan bertanya.

“Ada apa, Wamana? Ada yang memakan umpanmu?”

Yang ditanya menjawab sombong. “Tentu! Kau kira cuma kau saja?”

Wamana lalu mulai menarik. Tapi dirasanya keras. Wamana menariknya lebih kencang namun tak juga berhasil. Dengan mengerahkan tenaganya lebih keras lagi pancing itu ditariknya, tapi hasilnya tetap sama. Bhima mendekat dan bertanya lagi. “Kenapa? Ada masalah?”

Wamana terus menarik pancingnya. “Berisik! Lihat saja, tangkapanku pasti jauh lebih besar dari semua yang sudah kau dapat!” Wamana lalu menyentakkan pancingnya. Kali ini dia berhasil. Tapi tiba-tiba Bhima menutup mulutnya sambil menahan tertawa.

“Pantas saja keras sekali! ternyata memang besar! Hahaha!”

Wamana kesal sekali karena sikap temannya itu, lalu dia melihat ke mata pancingnya dan seketika dia terkejut. Seekor kepiting tampak menggantung di sana. Bukan ikan seperti apa yang dikiranya. “Hah?”

Dengan geram, Wamana mengangkat dan memutar-mutar pancingnya. Tak puas dengan itu, dia lalu membanting pancingnya dan berjalan mendekat ke arah Bhima. Lalu tanpa basa-basi lagi dia segera mengangkat pancing Bhima untuk kemudian dihempas-hempaskannya ke air. Melihat ulah Wamana, Bhima hanya bisa berteriak-teriak melarang. “Hei! Hei! Jangan ganggu kailku!”

Pada saat itu, Bhima mendengar air berkecipak. Dia mencan-cari suara itu, dan tak berapa jauh dari tepi pantai, terlihat sesuatu terombang-ambing mengapung di atas air. Dia menajamkan pandangannya, lalu setelah yakin kalau yang terombang-ambing bukan hanya sekedar kayu atau onggokan benda tak berarti lainnya, dia menggapai ke arah Wamana. “Wamana! Berhenti! Lihat di sana!”

Wamana tidak perduli. “Masa bodoh! Tidak maul”

“Tampaknya ada orang hanyut! Aku mau menolongnya!” kata Bhima sambil berjalan ke arah pantai sementara Wamana melanjutkan marahnya. Bhima turun ke air dan menghampiri benda yang terapung itu. Begitu dekat, ternyata dugaannya tepat. Seseorang tampak tertelungkup di atas tameng kayu. “Benar! Orang hanyut! Masih hidup atau ….”

Bhima mengangkat kepala orang itu. Dia merasakan kalau orang tersebut masih menghembuskan nafas. “Dia masih hidup!”

Bhima mengangkat orang itu untuk segera memberi pertolongan, namun dia melihat tameng yang dipakai orang hanyut itu. Seketika dia terkejut. Bhima berubah pikiran, dia meletakan tubuh orang ke atas tameng. Lalu dengan tenaga yang luar biasa, dia mengangkat orang itu lagi berikut tamengnya dengan menggunakan sebelah tangan.

Wamana melihat temannya menghampiri namun dia tetap acuh tak acuh sambil duduk di pinggir pantai. Lalu didengarnya Bhima berkata. “Ini prajunt kerajaan Tarumanegara, Wamana! Kita harus membawanya ke istana!”

Wamana menutup wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Bagus! Sempurnalah sudah kesialanku!”

Istana Kerajaan Tarumanegara

Sang Purnawarman tampak duduk di singgasananya dihadapi para pembesar kerajaan saat menerima berita yang disampaikan oleh prajuntnya yang kini duduk di hadapannya didampingi Wamana dan Bhimaparakrama.

Wajah sang Purnawarman terlihat murung. “Betul-betul kejam dan biadab!” Berulang-ulang dia menarik napas resah sambil sekali-sekali mengguman. “Malang sekali nasib menteriku serta para pengawalnya!”

Seperti berkata pada diri sendiri, sang Purnawarman terus saja menggumam. “Padahal para perompak itu sudah diingatkan bahwa kapal itu adalah milik kerajaan. Tapi tetap tak diperdulikan dan mereka tetap merampoknya!”

Sang Purnawarman menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa saat lamanya dia tenggelam dalam diam. Namun mendadak sekali wajahnya terlihat mengeras saat dia mengangkat kepalanya lagi sambil menepuk pangkal sandaran singgasana dengan agak keras.

“Baiklahl Aku harus melakukan tindakan tegas untuk masalah ini!”

Semua yang hadir menundukan kepala saat sang Purnawarman bangkit dari singgasana dan berdiri menyebar pandangan ke arah para bawahannya.

“Demi keamanan dan kelancaran perairan di wilayah kerajaan Tarumanegera ….”

Semua yang hadir kian dalam tertunduk saat sang Purnawarman melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih lantang. Tangan kiri memegang dada sementara yang kanan direntangkan lebar.

“Dengan ini, aku nyatakan perang terhadap bajak laut! Dan aku sendiri yang akan mernimpin penyerangan

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Bagian Gelap Bulan Maga (Januaril Februari) tahun 321 Caka (403 Masehi), sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak laut yang merajalela di perairan barat dan utara.

Puluhan kapal perang kerajaan berbaris meninggalkan pelabuhan kerajaan Tarumanegara. Di bagian depan Kapal terbesar, dengan pakaian besinya, berdiri dengan gagahnya Sang Purnawarman didampingi sang Panglima Cakrawarman dan Sang Senopati Sarwajala, Nagawarman.

Beberapa hari kemudian, di tengah lautan.

Malam telah lama melewati puncaknya. Langit gelap tanpa bi ntang dan tanpa cahaya rembulan. Yang ada hanyalah kegelapan yang pekat dan mencekam. Namun di kejauhan, seperti hampir sejajar dengan garis cakrawala, tampak dua buah titik cahaya kecil yang terayun-ayun di tengah lautan. Kiranya cahaya itu berasal dari dua buah kapal yang agak besar yang tengah melempar sauh. Dilihat dari dekat, hanya satu dari dua kapal itu yang masih menandakan adanya kegiatan. Dan dari kapal itu, sayup-sayup sampai terdengar suara orang berkata-kata dibawa angin yang berhembus timbul tenggelam.

“Kalah lagi! Sudahlah! Lebih baik aku tidur saja.”

Dari sekian banyak awak kapal, hanya tiga orang yang masih terbangun. Mereka berkumpul membentuk setengah lingkaran di antara puluhan orang lain yang berbaring di sana-sini. Di bawah penerangan sinar lampu damar yang samar, mereka menghadapi selembar kulit bergambar beberapa jenis hewan laut yang dihamparkan di lantai kapal. Salah seorang dari mereka memegang sebuah cangkang kelapa yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai mangkuk yang sudah dihaluskan. Perangkat seperti itu merupakan sebuah alat untuk permainan judi pada masa itu. Di dekatnya, di depan masing-masing orang, berceceran sejenis mata uang logam yang digunakan untuk memasang taruhan.

Saat itu, lelaki yang memegang cangkang kelapa tampak berkata pada temannya. “Jangan marah begitu! Ayo pasang sekali lagi! Kali ini pasti dapat! Udang? Kepiting? Keong?”

Yang diajak bicara malah melongok keluar jendela.

“Sejak sore tadi kau bilang begitu! Dan ini sudah hampir pagi!”

“Siapa tahu kalau sekarang saat kemujuranmu tiba?” sahutnya lagi.

Tapi orang yang satu itu malah merebahkan diri sambil sebelumnya berkata dengan suara yang agak keras. `Maimah sendiri.”

Tiba-tiba, kawan-kawan mereka yang tengah tertidur mendadak terjaga dan muka kesal mereka semua serempak berteriak kepada mereka yang masih terjaga. “Berisik! Kalian mau kami rampok?”

Mereka yang bermain seketika merungkut. Tapi mendadak mereka dikagetkan oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Dan sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, dinding kapal tempat di mana mereka saat itu berada, tiba-tiba ditembus oleh mata tombak-mata tombak yang menyembul masuk hingga ke bagian dalam. Para perompak itu kaget setengah mati. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dan melompat ke arah jendela untuk melihat keluar dan mencari tahu apa yang tengah terjadi, mendadak, dia tersurut.

Beberapa puluh meter dari kedua kapal bajak laut, terlihat lampu-lampu yang berjejer membentuk lingkaran mengelilingi kedua kapal itu. Sekilas, memang terlihat indah. Tapi yang membuat salah seorang bajak laut itu tersurut adalah bukan karena keindahan itu, melainkan karena setelah dia mengawasi lebih jelas dan menyadari bahwa lampu-lampu itu berasal dari kapal-kapal kerajaan. Dan kini kapal-kapal itu telah mengepung mereka dengan rapat. Dengan wajah pucat dan gemetaran, salah seorang bajak laut Itu berkata lemas pada teman-temannya.

“Kita — telah-dikepung”‘

Sementara itu, di salah satu kapal terbesar dari armada kapal kerajaan yang saat itu memang telah mengepung dua kapal bajak laut. Sang Purnawarman, Sang Senopati Sarwajala dan Sang Panglima Cakrawarman tengah menanyai salah seorang prajurit dari pasukan pengintai.

“Prajurit. betulkah ini kapal-kapal bajak laut itu?”

Prajurit itu menjura.

“Betul. Sang Senopat’!”

Sang Purnawarman mengangguk-angguk.

“Kalau begiitu, beri aba-aba untuk menyerang, Paman Senopati!”

“Baik. Sang Prabu!”

Senopatt Sarwajala memberi aba-aba kepada peniup terompet untuk segera membunyikannya sebagai tanda untuk mengawali penyerangan. Peniup terompet menjura lalu mulai meniup.

Nguuungggg!

Suara terompet menggema di tengah lautan, para pemimpin pasukan di tiap-tiap kapal segera memberi perintah kepada pasukannya.

“Tembak!”

Seketika, ratusan tombak dan panah dilepaskan. Kilauan mata tombak dan panah dalam kegelapan tampak begitu menggidikkan saat meluncur cepat mencari sasaran. Suara-suara kayu hancur dan jeritan orang-orang yang terkena tombak dan panah itu tumpang tindih berbaur menjadi satu saling atas mengatasi membuat suasana yang tadinya sepi dan tenang berubah menjadi hiruk pikuk. Tak ada perlawanan yang berarti. Sebelum matahari muncul di ufuk timur, gerombolan bajak laut itu sudah dapat ditaklukan. Mereka yang menyerah dijadikan tawanan oleh pasukan kerajaan Tarumanegara.

Saat itu, Wamana bersama Bhima dan para prajurit lain tengah berada di kapal bekas milik para bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan yang mungkin masih bersembunyi. Setelah lama mencari dan tak bertemu, mereka akhirnya mengakhiri pencarian. Saat akan meninggalkan kapal bajak laut itu untuk kembali ke kapal mereka masing-masing, tiba-tiba telinga Wamana menangkap sebuah suara yang mencurigakan.

Wamana menghentikan langkahnya. Suara itu terdengar begitu samar dan hanya terdengar sekali saja, tapi Wamana terasa begitu yakin kalau itu bukamah suara gesekan kayu atau semacamnya. Wamana berniat hendak memanggil Bhima, tapi Bhima terlihat sudah berada agak jauh darinya. Dengan penasaran, Wamana masuk kembali ke bagian dalam kapal sambil mengendap-endap. Dalam keremangan cahaya lampu yang bersinar lemah, Wamana menajamkan pandangannya dan mencari. Namun walau bagaimanapun telitinya Wamana mencari, tetap saja dia tak menemukan apa yang dicarinya, jangankan manusia, kecoa pun tak tampak di sana. Dengan kecewa, Wamana melangkah keluar dari ruangan itu. Tapi mendadak, suara itu terdengar lagi. Tak terlalu keras memang, tapi itu sudah cukup memberi petunjuk kepada Wamana untuk mengetahui arah dari ruangan itu. Wamana merebahkan tubuhnya sejajar dengan lantai ruangan, dengan cermat dia mulai meraba. Dan wajah Wamana mendadak berubah cerah saat tangannya merasakan ada celah tipis pada lantai yang tampaknya rata itu. Suara engsel yang lama tak diberi pelumas segera terdengar saat Wamana mengangkat dan mencongkel celah tipis yang berfungsi sebagai penutup itu dengan menggunakan ujung pedangnya. Cahaya lemah menembus ke dalam lubang yang menganga di bawahnya. Wamana terdiam sebentar. Dia berpikrr dan menimbang-nimbang.

“Apakah aku harus masuk ke sana.’ Tapi sendirian? Amankah? Atau…”

Terdengar suara desiran pelan dari balik kegelapan lubang yang menganga itu. Wamana membentak.

“Siapa itu?”

Tak ada jawaban. Wamana mengulang pertanyaannya.

“Siapa itu? Jawab atau kupanggilkan para prajurit lain!”

Mehdadak sekali, seraut wajah muncul di ambang lubang. Wamana terkejut dan jatuh terduduk, tapi dia segera menguasai dirinya.

“Siapa kau? Apakah kau anggota gerombolan bajak laut itu`’”

“Bukan! Aku adalah prajurit kerajaan!”

“Apa yang kau lakukan di dalam sana? Aku tak percaya! Naiklah ke sini agar aku bisa melihatmu dengan jelas! Dan awas, jangan mencoba untuk berbuat macam-macam!”

“Aku sedang buang air kecil! Tunggulah sebentar, aku akan naik!”

Wamana mengerenyitkan kening. “Apa tidak salah?”

Orang itu naik. Wamana melihat orang tersebut memang berseragam prajurit kerajaan Tarumanegara. Namun tiba-tiba Wamana mundur sambil menutup hidung. Prajurit itu melihat reaksi Wamana tapi dia terus melangkah mendekati. Wamana terus mundur hingga akhirnya punggungnya membentur dinding.

Wamana mengangkat tangannya. “Cukup! Jangan maju lagi! Kau amis sekali!”

Prajurit itu tersenyum dan terus maju, tetapi begitu dekat dengan Wamana, dia tiba-tiba membelokkan arahnya ke pintu keluar. Wamana mengintip melalui sela jari-jarinya dan dia menarik napas lega. Tapi itu hanya sesaat, karena selanjutnya dia melihat prajurit itu berjalan ke tepi kapal dan langsung terjun ke dalam air. Wamana berteriak memanggil. “Hei, jangan!”

Terlambat. Karena beberapa detik kemudian dari bawah kapal terdengar suara sesuatu yang masuk ke dalam air. Wamana berlari mengejar dan memanggil-manggil dengan perasaan bersalah. “Prajurit! Jangan marah! Aku tak bermaksud menghinamu! Keluarlah dari dalam air dan naiklah! Aku tak tahu kalau kau begitu cepat putus asa!”

Saat itu, Bhima dan beberapa prajurit yang juga mendengar suara tadi sudah tiba di sisi Wamana. “Ada apa, Wamana? Suara apa tadi? Apa ada yang tercebur?”

Wamana mengangguk sedih. “lya. Seorang prajurit!”

Tanpa banyak berkata lagi, Bhima langsung meloncat terjun ke dalam air. Beberapa saat lamanya Bhima menyelam mencari-cari, tapi dia tak menemukan seorang pun di bawah sana. Karena penasaran, Bhima mencari hingga dasar samudera namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya Bhima muncul kembali ke permukaan. “Tak ada seorang pun di bawah sana!”.

Wamana tersengguk dan mulai menangis. Beberapa prajurit yang ada di sampingnya berusaha membujuknya.

Sementara itu, Sang Purnawarman beserta para panglima tengah menanyai satu dari sekian bajak laut yang berhasil ditawan. “Mana pimpinan kalian?”

Yang ditanya menggeleng. “Kami tak tahu.”

Panglima Cakrawarman mendekati bajak laut. “Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?”

Bajak laut itu menjura dengan penuh ketakutan. “Tapi kami memang benar-benar tidak tahu!”

Sang Purnawarman berkata lagi. “Baiklah. Bila benar pemimpinmu itu tak ada di sini. Tapi, untuk memastikan apakah pemimpinmu itu masih hidup atau sudah mati, aku ingin kau katakan bagaimana ciri-cirinya!”

Seketika dan tanpa berpikir panjang lagi, bajak laut itu menjawab.

“Dia berbau amis dan berpenyakit asma!”

Panglima Cakrawarman membentak.”Jangan main-main! Kau kira dia itu ikan? Yang kami maksud ciri-ciri itu adalah bagaimana sosok pemimpinmu sebenarnya!”

Dengan ketakutan, bajak laut menjawab. “Susah untuk mengatakannya. Dia selalu berganti rupa sehingga sulit untuk menjelaskan ciri dari sosoknya!”

Sang Panglima membentak lagi. “Cukup! Kau telah mempermainkan Sang Prabu dan akan mendapat hukuman yang setimpal karenanya!”

Bajak laut merungkut ketakutan. “Tapi memang itulah yang sebenarnya!”

Sang Panglima memberi isyarat agar bajak laut itu segera dibawa pergi. Bajak laut berusaha meyakinkan agar kata-katanya dapat dipercaya, tapi dua prajurit segera menghampiri dan membawanya pergi. “Ampun, Sang Prabu! Kami tidak berbohong! Itulah yang sebenarnya! Ampuni kami!”

Selanjutnya dari 80 orang bajak laut, sebagian terbunuh dalam penyerangan oleh armada Kerajaan Tarumanegara sedangkan sisanya sebanyak 52 orang dapat ditawan. Lalu, seorang demi seorang, bajak laut yang ditawan itu dibunuh dengan berbagai cara dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut.

Matahari baru saja muncul. Sinar keemasan mewarnai angkasa. Suasana yang teduh dan sejuk mengiringi armada kapal kerajaan Tarumanegara yang telah tiba di Pantai Teluk Lada. Kapal-kapal ini melaju menyusuri aliran sungai Cidangiang dan masuk ke pedalaman. Penduduk bersorak menyambut kedatangan pasukan kerajaan yang baru saja berhasil menumpas gerombolan perompak yang biasa menghantui dan berkeliaran mengganggu keamanan penduduk setempat.

Sang Purnawarman dan para panglimanya turun dan kapal dan disambut oleh tetua kampung setempat sedangkan para prajurit diizinkan turun ke darat untuk sekedar melepas lelah dan beristirahat setelah sekian lama berada di lautan dan berperang semalaman. Bhima dan Wamana tampak bergabung dengan penduduk setempat. Mereka berbincang-bincang dan saling bertukar cerita. Saat itu, Wamana yang sedang tertawa-tawa, tiba-tiba terdiam. Matanya mendelik dan cuping hidungnya bergerak-gerak. Lalu dia berdiri dengan tiba-tiba sambil menoleh ke sana kemari. Bhima dan yang lainnya menjadi heran melihat perubahan sikap Wamana itu. Wamana berjalan ke sana kemari sambil bertingkah seperti mencium-cium ke segala arah.

Beberapa orang yang melihatnya saling berpandangan dengan heran. Saat kembali ke tempat semula, Wamana seperti tampak tengah berpikir keras. Alisnya berkerut tajam sementara kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggumam. “Aneh!”

Bhima tak dapat menahan rasa ingin tahunya. “Ada apa denganmu, Wamana?”

Wamana masih saja bertingkah sama. “Aneh!”

“Apanya yang aneh, hei?” Tanya Bhima lagi sambil mencolek lengan Wamana.

“Aku seperti mencium bau yang sama.”

“Bau? Bau apa?”

“Bau prajurit yang tadi malam kulihat tercebur ke laut!”

Kali ini Bhima ikut mengerutkan kening. “Jangan bercanda, Wamana. Kau maksud prajurit yang tadi malam tenggelam itu?”

Wamana mengangguk cepat. “Iya”

“Bukankah kau lihat sendiri, aku tak dapat menemukannya walaupun sudah kucari hingga ke dasar laut. Apa mungkin dia selamat? Mungkinkah dia sudah lebih dulu naik ke kapal tanpa kita mengetahuinya?”

“Mungkin. Tapi saat kucari-cari aku tak melihat seorang pun yang bahkan mirip dengannya, apalagi dirinya.”

“Kau tidak melihatnya, tapi kau dapat mencium baunya. Apa kau pikir yang datang tadi itu adalah hantunya” Mana mungkin, ini sudah siang, banyak orang lagi!”

“Lalu, bau apa atau siapa yang tadi kucium? Sayang, bau itu sudah keburu hilang sebelum aku sempat berbuat lebih banyak!”

“Bau ini, Wamana. Bau seperti apakah yang kau cium?”

“Amis”

Bhima mulai tcrsenyum. “Amis? Maksudmu seperti bau ikan” Bukankah itu wajar mengingat tempat ini adalah tepian pantai dan juga perkampungan nelayan?”

Wamana dengan mimik serius tetap mempertahankan keyakinannya.

“Bukan, Bhima. Aku kenal betul bau ini!”

Saat itu, Sang Senopati Sarwajala berdiri di tengah-tengah kampung dan memanggil para prajurit untuk berkumpul karena ada pengumuman yang hendak disampaikannya. Setelah itu, dia pun mulai angkat bicara.

“Segenap penduduk dan prajurit Tarumanegara. Ada hal penting yang akan kami sampaikan atas perintah Sang Prabu Purnawarman. Dari hasil pembicaraan antara Sang Prabu dan Tetua Kampung ini, maka terciptalah suatu rencana untuk mengabadikan peristiwa keberhasilan membasmi gerombolan perompak yang selama ini telah mengusik keamanan di perairan ini dan juga sebagai ungkapan terima kasih dari Sang Prabu atas kesediaan masyarakat di sekitar sungai Cidangiang untuk bersama-sama saling membantu menjaga ketentraman di perairan ini demi kepentingan bersama-sama Juga. Sudah sepantasnya kerajaan dan masyarakatnya saling bahu membahu demi kemajuan negara. Dan akhirnya, semua keberhasilan ini tidak akan terjadi tanpa dukungan dan bantuan serta kerjasama antara kerajaan dengan masyarakat”.

Kalimat sang Senopati itu disambut dengan tempik sorak dari segenap prajurit dan penduduk. Kemudian, diperintahkan para prajurit serta penduduk setempat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara para lelakinya bekerja, para wanita memasak makanan untuk dihidangkan nanti. Suasana di kampung itu menjadi begitu ramai. Puluhan kerbau dikumpulkan di tengah tanah lapang untuk disembelih dan sebagian lagi untuk dihadiahkan kepada penduduk.

Saat tiba waktu makan siang, para lelaki yang bekerja beristirahat dan mencari tempat yang teduh untuk bernaung dan melepas lelah. Anak-anak penduduk berlarian rnembawakan air minum di dalam kendi-kendi tanah dan potongan-potongan barnbu. Tak lama kemudian. para wanita datang membawakan santapan untuk makan siang. Para pekerja langsung menyambut dan mulimkan dengan lahap.

Di pondok kediaman sang Tetua kmpung dimana para panglima dan sang Purnawarman berada, hidangan telah pula diantarkan oleh para wanita. Di dekat anak tangga pondok sang Tetua kampung, tampak Bhim dan Wamana berbaur dengan para pekerja lainnya dan tengah menyantap hidangan. Wamana tampak makan dengan lahap hingga remah-remah makanan bertempelan di sekitar mulut dan pipinya. Dari barisan para wanita yang membawakan hidangan ke pondok Tetua kampung, tampak seorang gadis muda cantik di antrian paling belakang. Dengan lenggang lenggoknya yang gemulai, dia melemparkan senyum manisnya kepada para pekerja sambil mengapit dua buah kendi air di tangan kanan-kirinya. Tiba di tangga pondok, gadis itu melirik sekilas pada Wamana yang masih sibuk dengan makanannya. Tapi beberapa saat setelah gadis itu melewati tangga, Wamana tiba-tiba terhenyak. Dia menghentikan suapan ke mulut dan berhenti mengunyah. Kepalanya terangkat dan matanya terbuka lebar. Beberapa helaan napas Wamana terpaku, cuping hidungnya bergerak kembang-kempis. Bhima yang melihat sikap Wamana itu bertanya.

“Ada apa Wamana? Kau tersedak? Makanya, kalau makan jangan terlalu lahap!” Wamana seperti tak mendengar pertanyaan Bhima. Dia malah memegang lengan Bhima dengan kencang.

“Bhima, kau cium bau itu?”

“Bau apa?” tanya Bhima sambil menajamkan penciumannya. “,Aku tak mencium bau apa-apa selain bau daging yang kita makan, dan bau keringatmu!”

Wamana tiba-tiba meletakkan makanannya dan bangkit berdiri sambil bercelingukan dia bertanya kepada Bhima dengan terburu-buru.

“Siapa orang yang terakhir lewat dekat kita?”

Bhima mengangkat bahu sambil menoleh ke sekeliling. “Kau lihat sendiri, mereka semua sedang makan. Sama seperti kita. Kecuali…”

“Kecuali siapa?” desak Wamana dengan bernafsu.

“Para wanita yang mengantarkan hidangan ke dalam Pondok ini. T api kenapa?”

Tanpa rnenghiraukan pertanyaan Bhima lagi, Wamana segera bergerak cept ke dalam pondok. Dia melompati anak tangga dengan langkah-langkah lebar.

‘Mau apa” dia masuk ke dalam? Bisa-bisa dia akan mengganggu selera makan orang-orang yang ada dI sana!”

Berpikir demikian, Bhima segera bangkit menyusul Wamana.

Di dalam pondok, para wanita yang membawakan makanan telah mulai keluar satu per satu. Mereka berpapasan dengan Wamana. Dan mereka kaget karena Wamana memandang mereka dengan tajam sambil mendekatkan wajahnya ke tubuh para wanita itu. Para wanita memandang heran sambil melanjutkan keluar dari dalam pondok. Wamana masuk ke bagian dalam ruangan di mana Tetua kampung, Sang Purnawarman dan para Panglima tengah berkumpul dan bersiap-siap untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan. Di sana dia melihat hanya tinggal satu orang wanita yang tengah menaruh kendi air di atas lantai. Semua yang ada di dalam, kecuali si wanita, melihat kedatangan Wamana. Tapi Wamana malah menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Dengan berjingkat dia berjalan mendekati si wanita dari belakang. Sang Purnawarman serta para Panglima yang telah mengenal Warnana dan sudah tahu bagaimana sifatnya, hanya terdiam sambil tersenyum melihat tingkah Wamana itu.

Tepat pada saat si wanita selesai meletakkan kendi dan bangkit berdiri, Warnana melompat dan menerkam tubuh si wanita. Tubuh wanita itu terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana. Dengan bemafsu Wamana berseru sambil menekan kepala si wanita ke lantai. “Kena kau sekarang!”

Lalu kaki Wamana bergerak menendang dua kendi air yang tadi dibawa si gadis dengan keras sehingga terpental dan pecah. “Air itu telah dicampur racun!”

Tetua kampung hanya terbengong melihat kejadian itu. Sang Panglima Cakrawarman menegur Wamana. “Wamana, apa yang kau lakukan? Apa kau tak memandang Sang Prabu dengan berbuat keributan seperti ini? Kali ini, leluconmu tidaklah lucu!”

Dengan masih sambil menekan kepala si gadis, Wamana menjawab ucapan Sang Panglima.

“Memang tidak lucu, karena hamba memang tak bermaksud bercanda. Tapi apakah Yang Mulia semua tidak merasa terganggu dengan bau amis ini?”

Seketika yang ada di dalam ruangan mengendus-ngendus.

“Bau amis? Aku memang baru membauinya. Tapi kukira itu hanyalah aroma dari masakan ini saja. Lalu kenapa?” tanya Sang Purnawarman.

Wamana tidak segera menjawab. Tapi dia malah memukul punggung gadis itu dengan keras hingga si gadis terbatuk-batuk dengan payah dan nafas tersengal-sengal.

“Bagaimana pula dengan ini?” tanya Wamana lagi.

Semuanya saling berpandangan tak mengerti akan apa yang dimaksud Wamana.

“Mengapa kau memukulnya sekeras itu? Apa salahnya sehingga kau begitu kasar pada seorang wanita?”

Pada saat itu Bhima pun masuk ke dalam ruangan. Dia menjura saat Sang Purnawarman dan para Panglima menoleh ke arahnya.

“Ampun, Sang Prabu. Maafkan sikap hamba dan kawan hamba ini bila telah berbuat lancang di hadapan Sang Prabu!”

Sang Purnawarman mengangguk. “Aku tak mengerti. Apa yang terjadi dengan Wamana, Bhima. Dia seperti kehilangan kendali.”

“Ampun, Sang Prabu. Hamba pun tidak tahu. Tapi izinkamah hamba mengurusnya.”

Sang Purnawarman mengangkat tangan mempersilahkan. Bhima kemudian menghampiri Wamana. Tapi baru beberapa langkah, Wamana berseru kepada Bhima.

“Diam di tempatmu, Bhima!”

Langkah Bhima seketika terhenti. “Tapi kau telah lancang di hadapan sang Prabu, Wamana. Ayolah, mari kita keluar saja dan lepaskan gadis yang tidak bersalah itu!”

“Bhima, kau ingat kejadian di kapal tadi malam saat kau menyelami laut untuk mencari seorang prajurit yang tenggelam?” Bhima mengangguk. “Kau masih ingat tadi pagi dan barusan saat kukatakan kalau aku mencium bau amis?” Bhima mengangguk lagi.

“Bagus,” kata Wamana. “Sekarang, mendekatlah kemari!”

Bhima menurut saja. Dia melangkah perlahan menghampiri Wamana. Tapi beberapa jengkal dari Wamana, Bhima menghentikan langkahnya sambil menahan nafas. Wamana tersenyum karenanya.

“Nah, bau apa yang barusan kau cium?”

Bhima mengerutkan kening. “Amis!”

“Tepat!” kata Wamana. Lalu katanya lagi kepada Sang Prabu. “Hamba dan Bhima memang tidak hadir saat Sang Prabu menanyai salah seorang bajak laut tadi malam. Tapi dari cerita yang hamba dengar dari salah seorang prajurit yang hadir pada saat itu, bukankah si bajak laut mengatakan ciri-ciri dari pemimpin mereka” Ciri-ciri yang benar-benar tepat, walaupun tidak dipercayai dan dianggap mengada-ada!”

Saat Itu, Sang Purnawarman serta para Panglima tersentak. Mereka semua memandang pada gadis yang ada di bawah tubuh Wamana. “Aku ingat itu. Tapi apakah mungkin gadis seperti dia dapat memimpin gerombolan perampok yang kejam itu”?

Wamana menggeleng cepat. “Ciri-ciri itu juga dikatakan oleh bajak laut itu. Bukankah katanya pemimpinnya itu pun seringkali berganti-ganti rupa?”

Sang Prabu mengangguk- angguk mengerti.

“Kalau begitu, mari kita hukum dia! Tak peduli bagaimana pun wujud dia yang sebenarnya!” kata Sang Panglima.

Tapi tiba-tiba, Wamana merasakan tubuhnya terangkat dan kulit wanita yang tadinya mulus kini berubah kasar dalam genggamannya. Seketika Wamana menoleh ke bawah. Dan dia terkejut saat melihat bagaimana tubuh wanita yang tadi ditindihnya telah hilang dan kini berubah menjadi sosok yang besar, jauh lebih besar bahkan dari tubuhnya sendiri. Belum sempat Wamana berbuat sesuatu, sosok itu tiba-tiba meronta dengan keras. Wamana yang bertubuh kecil tak dapat bertahan. Pegangannya terlepas dan tubuhnya terlempar ke belakang. Sang Prabu dan para Panglima yang juga melihat perubahan-perubahan itu segera bangkit dari duduknya karena terkejut, begitu juga dengan Bhima. Sosok tinggi besar itu kini bangkit sambil menggeram marah. Kini terlihatlah sosok pemimpin bajak laut itu yang sebenamya. Dia memandang marah pada orang-orang di sekelilingnya. Melihat itu, dengan ketakutan Wamana melompat mundur ke arah pintu keluar dan berlindung di balik tubuh Bhima. “Bhima! Tolong aku!”

Para Panglima segera bergerak mengelilingi Sang Prabu untuk menjaga segala kemungkinan buruk yang dapat mengancam keselamatan Sang Prabu.

“Kau tidak akan bisa keluar dari sini, Perompak! Menyerahlah!” Sang Senopati membentak.

“Dan membuat kalian senang dengan merighukumku?” tanya si pemimpin. “Tidak!” jawabnya lagi sambil menggeleng-geleng. “Tapi kalian semua telah mengganggu kesenanganku. padahal kalian tahu kalau aku ini adalah perompak yang bekerja untuk mengganggu kesenangan orang! Aku ingatkan kalian kalau kalian belum sadar, itu terbalik, tahu?”

“Kau tahu apa kesalahan terbesarmu?” tanya Sang Purnawarman.

“Apa ya ?” Si perompak menggelengkan kepala.

“Kau telah merampok dan membunuh salah seorang menteri dari kerajaan Tarumanegara! Itu adalah kesalahan tak terampuni!” kata sang Purnawarman lagi sambil menuding ke arah perompak.

“Aku tak butuh ampunan dari siapapun! Dan bila aku ingin merampok, jangankan seorang menteri, seorang raja sekalipun akan tetap kurampok bila aku memang menginginkan!” Kalimat terakhir diucapkan perompak dengan sangat bersemangat. Karenanya, tiba-tiba memegang dadanya sambil berusaha menarik napas dengan payah. Melihat hal itu, Sang Senopati mengira kalau perompak itu lengah. Maka dengan segera dia melompat menyerang si perompak. Tapi dugaan sang Senopati salah, karena si perompak justru dapat dengan mudah menghindari serangan itu dan bahkan membalasnya. Terjadi pertempuran sengit di dalam pondok tetua kampung. Para penduduk dan prajurit telah mendengar keributan di dalam pondok dan mereka semua datang berkerumun di sekeliling tempat itu. Beberapa saat kemudian, rupanya perompak itu lebih tangguh dibanding sang Senopati. Pertempuran sengit kembali terjadi. Namun kembali terbukti bahwa si perompak memang benar-benar tangguh. Sang Panglima pun kembali terdesak hebat hingga akhirnya dia mundur menjauhi si perompak. Demi melihat kedua panglimanya tak berdaya menghadapi perompak itu, Sang Purnawarman sendiri akhirnya turun tangan. Tapi para panglimanya mengllalangi.

“Jangan, Sang Prabu! Lebih baik kita menyingkir dari sini! Dia terlalu tangguh buat kami! Kami tak ingin keselamatan Sang Prabu terancam!”

Perompak tertawa terkekeh-kekeh melihat hal tersebut. Kesombongannya pun timbul.

“Tak usah berebut, Kalau mau, kalian semua boleh majumenyerangku! Aku senang-senang saja”

Sungguh sangat meremehkan kalimat si perompak itu. Sang Purnawarman merasa dihina dan ditantang. Lalu dia menepis tangan para panglima yang melindunginya. Tapi kemudian terdengar suara seseorang berkata:

“Izinkan hamba menghadapinya. Sang Prabu tak perlu turun tangan!”

Sang Purnawarman menoleh danmelihat Bhima tengah menjura kepadanya. Seperti orang baru sadar dri suatu lamunan, Sang Purnawarman tersentak lalu tersenyum gembira.

“Ah. Bhima. Aku begitu termakan oleh kesombongan perompak ini sampai-sampai tak menyadari keberadaanmu di sini!”

“Dia memang sakti, Sang Prabu. Tapi kesombongannya justru seperti melebihi kemampuannya itu sendiri. Dengan izin dan restu dari Sang Prabu serta para Panglima semua, hamba akan mencoba melawannya!”

“Dengan senang hati, Bhima. Mungkin hanya kaulah yang mampu menghadapinya. Semoga berhasil!”

Bhima lalu melangkah tenang mendekati si perompak yang masih dengan sambil tertawa-tawa mencibirkan mulutnya ke arah Bhima.

“Heli, rupanya Tarumanegara sudah kehabisan Panglima andalannva sehingga harus menyerahkan tanggung jawab kepada bocah bongsor ini!”

Bhima terus mendekat.

“Bocah, jangan karena kau merasa tubuhmu tinggi besar lalu kau mengira akan dapat mengalahkanku! Lebih baik kau mundur dan biarkan aku menghabisi rajamu, maka kau akan kubiarkan hidup!”

Bhima tak menjawab ejekan si perompak. Dia terus saja melangkah menghampiri si perompak yang menjadi heran karena sikap Bhima itu. Tepat pada saat Bhima tinggal beberapa depa lagi darinya, si perompak dengan kesal menyerang Bhima. Pukulan si perompak tepat menghantam dada Bhima. Bhima tak bergeming lalu dengan secepat kilat Bhima mengulurkan tangan ke arah si perompak. Tahu-tahu, leher si perompak telah dicekik oleh tangan Bhima yang kokoh. Si perompak meronta-ronta sambil memukul dan menendangi tubuh Bhima, Bhima malah mengangkat tangannya ke atas sehingga tubuh si perompak ikut terangkat pula ke atas. Si perompak mulai tercekik pernapasannya, matanya melotot sementara tangan dan kakinya terus saja memukuli dan menendangi Bhima. Dari mulutnya dia mengeluarkan suara serak tak jelas apa yang dikatakannya. Wajah si perompak kian memerah. Perlahan-lahan gerakannya yang meronta-ronta mulai mengendur. Saat itu Bhima menurunkan tubuh si perompak dan melepaskan cekikannya. Tubuh si perompak meluruk ke lantai dengan lemah, dia memegangi lehemya dengan wajah kesakitan sambil terbatuk-batuk. Pada saat itu, Sang Panglima melambai pada beberapa orang prajurit yang tengah menyaksikan kejadian itu.

“Ringkus dial”

Para prajurit segera melakukan perintah itu. Mereka menghampiri si perompak dan mengamankannya, kali ini dia tak lagi melawan. Begitu juga saat para prajurit membawanya pergi dari pondok itu. Dia hanya bisa memandang heran dan tak mengerti pada Bhima. Untuk kesekian kalinya, Sang Purnawarman dan Para Panglima menghaturkan terimakasih kepada Bhima dan Wamana atas jasa mereka yang telah menghindarkan Sang Purnawarman beserta para Panglimanya dari bahaya yang mengancam mereka.

Tak lama kemudian, Sang Purnawarman memerintahkan agar perompak itu dibawa ke tengah laut untuk menerima hukuman seperti yang diterima oleh para anak buahnya sebelumnya. Kini sempurnalah sudah penumpasan mereka terhadap para bajak laut yang selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi para pelaut.

Sementara itu, acara pengabadian keberhasilan penumpasan gerombolan bajak laut segera dimulai. Bentuk pengabadian itu diwujudkan dalam sebuah prasasti yang terletak di tepi sungai Cidangiang, Sang Purnawarman rnenuliskannya dalam aksara Pallawa bahasa Sansekerta yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Vikrantayam vanipateh
Prabbhuh satyaparakramah
Narendraddhvajabutena crimatah
Purnnavarmmanah

((Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman)

Prasasti itu berada di tepi sungai Cidangiang, di desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang sekarang.
Sumber disini
Read more ...»